Film

Rumah Merah Putih: Cerita Nasionalisme Dari Anak-Anak Perbatasan

41
×

Rumah Merah Putih: Cerita Nasionalisme Dari Anak-Anak Perbatasan

Share this article
Launching trailer dan poster Rumah Merah Putih, Senin (20/5/2019)

LASAK.iD – Siapa yang tidak kenal dengan pasangan selebritis, Ari Sihasale dan Nia Sihasale Zulkarnaen. Pasangan yang sejak awal 2000-an mulai melebarkan sayap dengan memproduksi film di bawah rumah produksi milik keduanya, Alenia Pictures. Film pertamanya berjudul Denias, Senandung di Atas Awan di tahun 2006 menuai sukses dan memberikan tontonan baru ke penikmat film tanah air.

Tahun-tahun berikutnya Alenia Pictures mulai rajin merilis film yang bertemakan tentang anak-anak dan Indonesia. Sejak saat itu Alenia Pictures menjadi salah satu rumah produksi yang dikenal dengan filmnya yang nasionalis, dengan mengangkat sekaligus mengambil cerita di banyak daerah di Indonesia. Salah satunya daerah timur Indonesia yang menjadi fokus di beberapa film produksinya.

Daerah Timur Kembali Menjadi Lokasi Shooting

Seperti film yang akan tayang 20 Juni 2019 mendatang di seluruh bioskop tanah air. Film berjudul Rumah Merah Putih mengambil lokasi di daerah perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan Timor Leste. Daerah yang menjadi lokasi shootingnya sendiri berada di Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara.

Film Rumah Merah Putih mencoba berbeda dengan kebanyakan film dengan tema serupa. Alenia tidak membuat cerita baru dengan latar daerah tertentu, namun mereka menceritakan kisah real dari masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan, yang menjadi garda terdepan untuk Indonesia.

Kehidupan Anak-Anak Di Perbatasan Jadi Alasan dan Inspirasi

Film ini sekaligus memberikan gambaran bahwa kehidupan masyarakat yang berada di perbatasan tidak se-rumit dan tidak adanya pergesekan satu sama lain seperti yang selalu disangka oleh orang banyak, khususnya Indonesia yang berbatasan dengan saudara kita di Timor Leste.

Diungkapkan tim produksi dan cast yang hadir para press conference peluncuran trailer dan poster film Rumah Merah Putih, persaudaraan masih terjalin erat meski mereka sudah berada di dua negara yang berbeda. Infrastuktur seperti jembatan hingga jalan raya pun sudah di sulap menjadi objek wisata tersendiri untuk masyarakat.

Anak-anak ini juga menjadi inspirasi selama pembuatan, tentang persahabatan hingga kehidupan mereka selama ini hidup di perbatasan. Kenyataannya mereka justru hidup dengan nyaman, senang dan jauh dari prasangka negatif yang selalu tersemat untuk mereka yang hidup di perbatasan. Selama proses shooting pun tim produksi hingga pemain merasakan hal luar biasa, yang merubah cara pandang tentang masyarakat yang tinggal di perbatasan.

Film ini adalah tentang persahabatan anak-anak di gerbang terdepan Indonesia. Mereka menunjukan kehidupan di gerbang terdepan tidak seperti yang orang pikirkan. Mereka bisa hidup dengan senang, dengan semangat yang mereka miliki, walau keadaan apapun mereka bisa bertahan hidup. Itu yang pengen kita sampaikan. Anak-anak di gerbang terdepan ini bangga menjadi orang Indonesia”, jelas Ari Sihasale.

Rasa Nasionalisme Yang Patut Di Contoh

Selain itu, kehidupan mereka yang tidak se-instan di Ibukota menjadi alasan lainnya dari Alenia Pictures mengangkatnya menjadi sebuah film. Rasa nasionalisme yang mungkin harus menjadi contoh di banyak lapisan masyarakat di banyak daerah khususnya mereka yang sudah terkontaminasi dengan modernisasi.

Pengalaman tentang rasa nasionalisme yang tinggi di alami pasangan Ari dan Nia selama melakukan riset. Salah satunya menjelang momen perayaan 17 Agustus, karena disana masih memegang tradisi mengecat rumah menjadi merah putih.

Ketika mereka mencari cat untuk mengecat rumah setiap 17 Agustus, kalau tidak ada warna merah putih mereka menjawab ‘Merah Putih tidak bisa diganti’. bagi mereka merah putih bukan hanya sekedar bendera, tapi warna itu sudah terpatri di hati mereka, begitu pun kami” ungkap Nia Sihasale Zulkarnaen.

Comeback Alenia Pictures Setelah 5 Tahun

Film ini sekaligus comeback dari Alenia Pictures setelah absen dari industri film tanah air selama kurang lebih 5 tahun. Setelah film terakhirnya Seputih Cinta Melati yang di rilis 2014 lalu. Absen Alenia Picures, diungkapkan keduanya selama 5 tahun sedang fokus untuk proyek dokumenter.

Kita 5 tahun ini memang lebih sering dan fokus ke dokumenter dulu”, jelas Ari dan Nia.

Kembali Gandeng Pevita Pearce

Menceritakan kehidupan mereka dalam film Rumah Merah Putih, Alenia Pictures kembali menggaet aktris cantik Pevita Pearce. Ini merupakan kerjasama antara Pevita dengan Alenia Pictures setelah film Denias, Senandung di Atas Awan di tahun 2006 atau 13 tahun lalu.

Untuk film ini, kami mencari aktris yang cukup eksklusif, jarang tampil di suatu film tapi dikenal banyak orang banyak. Maka kami pun memilih Pevita Pearce, ujar Ari Sihasale.

Seraya dengan sang suami, Nia Zulkarnaen juga menambahkan, “Dulu kita bertemu di film Denias, Senandung di Atas Awan. Sekitar 13 tahun lalu. Dia ternyata masih mengingatnya. Kami sangat menghargai itu”.

Untuk film ini, Pevita berperan sebagai orang timur bernama Maria Lopez. Tante dari salah satu karakter utama anak-anak dan kembali memerankan karakter berbeda dari aktris kelahiran 26 tahun tersebut.

Selain Pevita Pearce yang berperan sebagai Maria Lopez, sederet nama seperti Yama Carlos (Daniel Amaral), Shafira Umm (Rosalia), Abdurrahman Arif (Ruslan) dan Dicky Tapitapikalawan (Oracio Soares) ikut berperan dalam film yang di sutradarai oleh Ari Sihasale tersebut.

Cast Anak-Anak Asli Dari Timur

Secara general film ini memang bisa dinikmati semua umur, namun di produksi lebih ramah kepada anak-anak. Memerankan karakter anak-anak, Rumah Merah Putih menampilkan talenta berbakat asli timur yang berasal dari daerah sekitar yang digunakan sebagai lokasi shooting.

Muncullah nama-nama pemain muda asli timur, seperti Petrick Rumlaklak yang berperan sebagai Farel Amaral dan Amori De Purivicacao sebagai Oscar Lopez. Keduanya menjadi karakter utama bersama nama besar, seperti Pevita Pearce dan Yama Carlos.

Petrick Rumlaklak, Amori De Purivicacao dan beberapa karakter lainnya didapatkan melalui proses casting yang cukup ketat di Kupang, Atambua dan Silawan. Bahkan satu diantara keduanya didapatkan Ari Sihasale sebagai sutradara di hari terakhir casting untuk karakter Farel.

Diungkapkan pasangan Ari dan Nia, hal tak terduga didapatkan keduanya selama proses casting. Para cast anak-anak asli dari timur tersebut sebenarnya tidak memiliki basic akting. Bahkan berhadapan dengan sebuah kamera secara langsung pun belum pernah, namun kemampuan akting mereka yang alami justru membuat kagum pasangan tersebut.

Untuk kebutuhan sebuah film, workshop akting pun mereka jalani, tidak hanya untuk cast dewasa saja tetapi juga anak-anak, yang akhirnya bisa berperan secara natural dan luar biasa dengan logat asli daerah setempat. Hal tersebut bisa dilihat melalui trailer yang sudah dirilis sejak 20 Mei 2019 lalu.

(Sarah)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x