LASAK.iD – Aktor, penulis, sutradara sekaligus produser kenamaan Asia bahkan dunia, Jackie Chan kembali untuk produksi film terbaru berjudul A Legend. Film yang kembali mengusung genre action adventure memang menjadi spesialis dari sang maestro.
Film yang menggunakan alur maju-mundur ini tentu menggabungkan 2 waktu yang berbeda. Namun, untuk film A Legend untuk gambaran alur mundur, penikmat film diajak kembali kepada zaman Dinasti Han yang dalam sejarah Tiongkok terjadi atau berkuasa sekitar tahun 206 SM–220 M.
Penikmat film yang lebih dulu melihat trailer resmi filmnya, mungkin menyadari apa yang ditampilkan film A Legend cukup mirip dengan film produksi dari Stanley Tong sebelumnya berjudul The Myth (2005). Yap, film A Legend yang kembali ditulis dan disutradarai Stanley Tong merupakan kelanjutan dari film The Myth yang menjadi sebuah sekuel atau dikenal juga dengan judul The Myth 2.
Disebutkan sebelumnya, latar filmnya kini mengambil waktu setelahnya atau lebih tepatnya pergantian dinasti. Pada film pertamanya The Myth (2005) menggambarkan pada era Dinasti Qin/ Ming, kini sekuel-nya dengan judul A Legend berlanjut pada Dinasti Han. Yang merupakan dinasti kedua setelah Dinasti Qin/ Ming.
Bisa dilihat dari perubahan deretan pemain yang juga mengikuti karakter pada filmnya. Kali ini Stanley Tong menggandeng aktor sekaligus penyanyi Yixing Zhang/ Lay Zhang sebagai Wang Jing / Hua Jun, Gülnezer Bextiyar sebagai Meng Yun, Aarif Lee sebagai Pangeran Xiong Nu, Chen Li sebagai Lei Zhen dan Peng Xiao Ran sebagian Xin Ran dan banyak nama lainnya.
Konsep penceritaan
Bicara filmnya secara keseluruhan memang cukup banyak yang menjadi atau mencuri perhatian. Merujuk pada Stanley Tong sebagai kreator dibaliknya, ia mencoba untuk memperlihatkan filmnya kini menjadi next level dari yang pertama. Meski gaya khas dari Stanley sendiri untuk kedua filmnya masih kental terlihat.
Terutama konsep penceritaan kedua filmnya, di mana Stanley masih mempertahankan konsep mimpi untuk penghubung dua waktu yang berbeda, yaitu masa sekarang dan masa lampau.
Bedanya, jika film pertamanya dua dimensi ini terhubung langsung yang terlihat pada adegan-adegan klimaks. Saat Jack yang diperankan Jackie Chan bertemu dengan Ok Soo yang diperankan aktris Korea Selatan, Kim Hee-seon.
Untuk A Legend sendiri lebih memisahkan kedua dimensi dengan konsep sebuah renkarnasi. Di mana, orang yang memiliki jiwa dari orang di masa lalu bisa mengingat memorinya. Namun, A Legend masih dengan aktor yang sama, sehingga deretan aktor ini bermain karakter ganda atau dua karakter berbeda.
Sebagai bumbu untuk membuat ketertarikan di penonton, Stanley masih menyisipkan kisah romansa dalam ceritanya. Masih dengan kisah cinta dari karakter Panglima Jenderal dengan Putri Kerajaan. Untuk juga lebih membuat gregetan, kali ini dibuat pada cinta segitiga. Selain memang sajian adegan filmnya pada perang besar yang melibatkan banyak pemeran.
Secara keseluruhan memang cukup mencerminkan gaya penulisan dan penyutradaraan dari seorang Stanley. Namun, jika berbicara tentang Jackie Chan itu sendiri, yang menjadi cirinya justru lebih terlihat menjelang klimaks filmnya. Deretan adegan yang sebenarnya paling ditunggu penikmat film dari sang maestro.
Sayangnya, untuk filmnya kali ini penikmat film hanya melihatnya dengan durasi lebih sedikit. Hal yang wajar mengingat Jackie Chan sendiri yang sudah berusia 70 tahun mencoba meminimalkan adegan yang menggunakan fisik dan tenaga berlebih.
Untuk durasi filmnya mengingat Stanley kembali membagi konsep cerita pada 2 waktu berbeda membuat durasi filmnya cukup panjang yang mencapai 120 menit, dengan sisi waktu lampau yang durasinya terlihat lebih panjang.
Durasi yang sebenarnya menyajikan berbagai bagian cerita yang penonton bisa menikmati. Hanya saja, menilik film bahkan series dengan genre dan konsep yang sama atau sering disebut dengan drama kolosal china atau drama china kostum memang kental dalam penjabaran yang lebih panjang bahkan untuk satu adegan, walau hanya bermain mimik saja.
Seringnya, dengan tujuan untuk emosi yang diinginkan sampai kepada penontonnya dengan pembangunan emosi yang perlahan. Untuk penggemar drama kolosal china, ini menjadi sesuatu yang biasa. Berbeda ketika penonton yang baru melihatnya, akan ada kesan cukup membosankan yang mungkin lebih suka pada adegan yang to-the-point atau tidak bertele-tele.
Sinematografi
Merujuk pada sinematografi filmnya, Stanley Tong cukup membuat perbedaan antara The Myth dengan A Legend (The Myth 2). Hampir selalu erat kaitannya dengan tone color dan camera angle, tentu mengikuti perkembangan dari equipment pendukung. Pada The Myth misalnya, jika diumpamakan film pertamanya ini untuk pengambilan sudut kamera terasa lebih lugas, bukan juga yang minim detail.
Sedangkan, film keduanya Stanley Tong mencoba lebih bermain dan mengeksplor pada detail dan sudut kamera untuk lebih mendramatisasi sebuah adegan. Jika mengkaitkan dengan konsep cerita filmnya cukup memberi pengaruh pada durasi yang memang mengikuti alur cerita dari penulis. Pada akhirnya ada kesan lamban untuk mencapai titik poin dari adegan tersebut.
Pembeda sinematografi lainnya pada warna filmnya, sebelumnya Stanley Tong cukup bermain pada ranah yang mungkin lebih menggambarkan suasana atau set filmnya.
Terlihat lebih bermain pada warna tungsen (kuning-oranye), juga beberapa adegan terlihat menggambarkan suasana siang cerah dengan warna putih dan warna lebih dark untuk adegan dalam goa yang juga untuk mendramatisasi adegan.
Untuk A Legend, Stanley mengikuti seiring berkembangnya teknologi dengan banyak bermain dalam warna dalam dunia fantasi. Untuk adegan yang menyajikan peperangan terutama siang hari, sebenarnya tetap mempertahankan warna putih atau cerah. Untuk beberapa waktu yang berlatar bukit lebih terlihat kuning-oranye.
Sedangkan, beberapa adegan yang lebih intens dalam adegan fight akan berubah menjadi lebih dark atau gelap. Untuk warna fantasi terlihat dalam adegan ketika karakter Meng Yun sedang berlakon dalam seni pedang.
Selain, adegannya memang menggunakan visual effect, namun warna yang diterapkan pada sekitarnya, terutama pepohonan, rumput bahkan tanah pada warna merah muda dan beberapa warna sendu lainnya yang memang menggambarkan sebuah fantasi.
Juga adegan terakhir ketika Zhao Zhan membawa Meng Yun dengan kudanya ke sebuah tempat yang secara total menggunakan visual effect.
Visual effect dan special effect
Selain cerita dan sinematografi, hal lain yang memang mencuri perhatian ada pada visual effect dan special effect filmnya. Selain, yang sudah disebutkan sebelumnya untuk beberapa adegan yang menggunakan visual effect dan special effect. Cukup mencuri perhatian justru pada AI untuk karakter Zhao Zhan.
Pada dasarnya ini merupakan karakter kedua dari peran ganda yang dimainkan aktor Jackie Chan. Namun, adegan-adegan yang cukup intens dengan melibatkan menunggang kuda, kostum panglima kerajaan, fight dari atas kuda atau face to face menjadi alasan menggunakan pemeran pengganti yang lebih muda.
Selain karakter yang dimainkannya pun memang merujuk pada panglima muda dari Dinasti Han bernama Zhao Zhan. Itu pula yang menjadi alasan wajah Jackie Chan ditampilkan menggunakan AI untuk kembali muda. Wajah yang mengingatkan penikmat film dari awal karirnya bermain film (Snake in the Eagle’s Shadow, Drunken Master dan lainnya).
Sesuatu yang menarik dan menjadi hal biasa jika melihat film produksi hollywood misalnya, yang mengubah beberapa wajah pemainnya menjadi lebih muda atau kembali muda untuk kebutuhan peran. Sebagian besar berhasil melakukannya dengan bantuan teknologi secara komputerisasi atau kecanggihan pada riasan.
Pada Jackie Chan sebenarnya berhasil untuk membuatnya kembali muda dan penikmat film pun sadar bahwa itu bantuan teknologi. Hanya saja, ada beberapa hal yang diingat dari sang aktor tidak hanya pada aksi nekatnya tetapi juga mimik wajah yang khas.
Kali ini, kurang memuaskan dan terkesan aneh karena terlihat seperti orang yang wajahnya di oplas, yang sulit untuk membuat ekspresi dan mimik yang sesuai. Akhirnya, beberapa adegan terutama yang mengekspresikan kesedihan.
Begitu pun gesture dari pemeran pengganti. Penikmat film Jackie Chan pastinya afal dalam setiap detail gesture sang aktor, dari cara berjalan hingga melakoni adegan fight. Tentunya, kali ini hanya terlihat ketika Jackie Chan melakoni peran sebagai profesor di masa sekarang.
Untuk adegan lainnya dengan visual effect dan special effect bisa dinikmati penonton dan masih membawa ciri khas dari Stanley Tong. Hanya kini lebih dari film pertama mengikuti perkembangan teknologinya.
Production company: Bona Film Group, Shanghai Lix Entertainment
Distributor: MM2 Entertainment
Cast: Jackie Chan (Fang/ Zhao Zhan), Yixing Zhang/ Lay Zhang (Wang Jing/ Hua Jun), Gülnezer Bextiyar (Meng Yun), Aarif Lee (Prince Xiong Nu), Chen Li (Lei Zhen), Peng Xiao Ran (Xin Ran), Kim Hee-seon ( – ), Max Huang ( – ), Shawn Dou ( – ), Yecheng Zheng ( – ), etc
Director: Stanley Tong
Screenwriter: Stanley Tong
Producers: Defu Jiang, Barbie Tung, Hongbo Yin, Dong Yu
Duration: 2 hours 9 minutes
Wow wonderful blog layout How long have you been blogging for you make blogging look easy The overall look of your site is great as well as the content
of course like your website but you have to check the spelling on several of your posts A number of them are rife with spelling issues and I in finding it very troublesome to inform the reality on the other hand I will certainly come back again
Somebody essentially lend a hand to make significantly articles Id state That is the very first time I frequented your website page and up to now I surprised with the research you made to make this actual submit amazing Wonderful task
Nice blog here Also your site loads up very fast What host are you using Can I get your affiliate link to your host I wish my site loaded up as quickly as yours lol
This is journalism at its finest. Your article is informative, balanced, and a joy to read.