ReviewCinemaFilm

Review: Karate Kid: Legends, Sudut Pandang Cerita Yang Mencoba Lebih Kekinian

279
×

Review: Karate Kid: Legends, Sudut Pandang Cerita Yang Mencoba Lebih Kekinian

Share this article

Karate Kid: Legends film produksi Columbia Pictures dan Sony Picture yang menjadi seri film keenam sejak pertama kali diproduksi pada 1984 lalu.

LASAK.iDThe Karate Kid menjadi salah satu franchise film bertema martial arts yang meraih sukses dan masih diingat banyak penikmat film meski perilisannya dimulai pada 1980-an. Rumah produksi yang menaungi franchise tersebut, yaitu Columbia Pictures dan Sony Pictures seperti juga rumah produksi lainnya yang mencoba peruntungan dengan membuat atau melanjutkan ceritanya.

Meski jarak waktu dari filmnya yang terakhir kali dirilis terbilang cukup jauh. Di tengah waktu biasanya rumah produksi memberikan pengalaman ke penggemar dan penikmat film secara general dengan memproduksi dalam format lain dengan cerita yang lebih kompleks dan panjang. Untuk The Karate Kid dibuat dalam versi yang lebih panjang, yaitu serial televisi, rentang waktu 2018-2025.

Menyambung cerita serialnya itu, Columbia Pictures dan Sony Pictures memproduksi The Karate Kid kembali ke film layar lebar. Kali ini, cerita filmnya melanjutkan cerita dari film terakhirnya di tahun 201o. Menarik kembali benang merah dari film 2010, filmnya kini yang berjudul Karate Kid: Legend menjadi spin-off karena fokus cerita mengambil bagian dari karakter Mr. Han.

Shifu yang membantu bocah laki-laki asal Detroit memenangkan turnamen bela diri, tak lama setelah kepindahannya ke Tiongkok. Namun, Rob Lieber sebagai penulis cerita untuk Karate Kid: Legend ingin memberikan kejutan kepada penggemar dan penikmat film dengan memunculkan dua legenda sekaligus, Mr. Han dan Daniel LaRusso.

Penggemar dari The Karate Kid universe, tentu tidak asing dengan karakter Daniel LaRusso. Sosok seorang murid sekaligus pewaris dari seorang master bela diri bernama Mr. Miyagi. Keduanya, Daniel LaRusso dan Mr. Miyagi karakter penting dalam membangun dunia dari The Karate Kid.

Kehadiran keduanya dalam film Karate Kid: Legend untuk membantu seorang remaja laki-laki menemukan kepercayaan dirinya kembali melalui bela diri karena tembok tinggi akibat trauma mendalam di masa lalu. Terkait tema, alur dan konsep cerita yang dihadirkan Rob Lieber ternyata me-recall kembali ingatan penggemar dan penikmat film atas film-film terdahulu.

Filmnya kini masih membawa ciri kental yang sama dari dunia The Karate Kid akan benang merah, vibes hingga ambience. Pembeda yang jelas terlihat adalah latar yang ditekankan pada waktu dan set yang dijabarkan dalam cerita filmnya. Berkaca dari filmnya di tahun 2010 dan filmnya kini 2025, jelas sekali penulis mengikuti berbagai hal yang menjadi concern di masa itu.

Terutama penekanan pada sisi karakter utamanya yang merupakan remaja, bagaimana caranya berpakaian, gesture, karakteristik dan berbagai atribut yang mendukung dalam menggambarkan masa yang diambil sebagai latar ceritanya. Pada 2010 terlihat Dre Parker, seorang remaja amerika yang hadir sebagai foreigners di tiongkok. Sedangkan, di tahun 2025 ini, digambarkan pada karakter Li Fong yang justru menjadi kebalikan dari Dre Parker.

Selanjutnya, pada alur cerita, film Karate Kid: Legend masih hadir dengan pola yang sama. Tergambarkan melalui karakter Li Fong yang mendapat masalah dan menyelesaikannya melalui bela diri. Bukan untuk membuat orang lain babak belur tetapi menemukan jawaban dari disiplin dan kerja keras untuk mencapai titik yang dimau.

Di mana, Li Fong mendapat pertentangan dari sang ibu, Dr. Fong untuk mempelajari bela diri kungfu. Dr. Fong tak ingin kehilangan kembali anaknya seperti di masa lalu yang berkaitan erat pada bela diri yang digeluti. Untuk menghindari akan hal itu dan mencoba menjalani kehidupan yang baru, keduanya memutuskan untuk pindah ke new york.

Tak peduli melewati beda samudera untuk pindah, kekerasan melalui bullying yang berkaitan dengan bela diri seolah selalu melekat pada Li. Belum lama pindah ke new york, Li sudah terlibat dalam lingkaran konflik besar dari kenalan baru sekaligus tetangganya yang berkaitan langsung dengan bela diri.

Meski Li sangat mencintai kungfu, namun tidak bisa dipungkiri trauma tetap dan selalu menghantuinya setiap waktu. Trauma yang hampir terjadi kembali, namun kali ini orangnya tersebut selamat hanya mengalami cidera yang cukup serius. Namun, kehadiran dari Mr. Han, shifu kungfunya dari tiongkok hadir tepat waktu.

Alih-alih menjauhkan Li dari bela diri, Mr. Han justru semakin mencemplungkannya lebih dalam dengan mengikutkan Li pada Five Boroughs Tournament, turnamen bela diri karate yang terkenal di new york. Mr. Han yang notabennya lebih kepada kungfu kemudian meminta bantuan dari kenalannya yang ada di amerika.

Ia adalah Daniel LaRusso, salah satu master karate yang terkenal di amerika. Akhirnya, Li pun percaya diri untuk mengikuti turnamen tersebut. Apalagi yang mengajarinya merupakan orang yang ahli dalam bidang bela diri masing-masing. Persiapan dilakukan kurang lebih 1 minggu.

Saat tiba waktunya, Li yang memang sudah memiliki bakat semakin terlihat berkembang setelah menjalani pelatihan selama seminggu dari duo master legendaris. Pada akhirnya, Li yang lebih melihat bela diri sebagai sebuah tanggung jawab dan memberikan nilai kehidupan terlihat lebih tenang dan fokus.

Pada akhirnya, Li berhasil mengalahkan musuh bebuyutan sekaligus remaja paling arogan bernama Conor Day. Setelahnya, Li Fong dan Ibunya, Dr. Fong menjalani kehidupan tanpa trauma dan rasa bersalah di masa lalu. Mereka akhirnya bisa berdamai dengan keadaan dan hal baik datang secara bergantian kepada Li dan orang-orang disekitarnya.

Alur yang sangat terlihat jelas masih mempertahankan tradisi dari dunia The Karate Kid. Seperti juga penjelasan sebelumnya, pembeda yang jelas terlihat pada gambaran zaman yang menjadi latar filmnya. Bisa disimpulkan jika sebelumnya di tahun 2010 hadir sebagai remake, kali ini dibawah arahan sutradara Jonathan Entwistle menjadi sebuah crossover yang menggabungkan karakter dari berbagai dunia yang berbeda, tetapi tetap menggunakan alur yang sama. 

Namun, jika membandingkan kembali pada The Karate Kid era Daniel LaRusso yang membangun dunia dari film tersebut memang akan mengalami nasib yang sama dengan film yang dirilis pada 2010 lalu. Berkaca dari kebanyakan produksi film franchise, produksi pertama selalu meninggalkan kesan terbaik.

Setelahnya, pola sama bagi penulis dan sutradara untuk membuat film berikutnya jauh lebih baik namun secara vibes masih harus sejalan. Saat film sekuel, trilogi dan seterusnya tidak memuaskan, penilaian dengan membandingkan hadir dari penikmat film akan sangat jelas dirasakan.

Jadi, untuk kali ini coba kita lihat dari sudut pandang berbeda, secara kemasan yang berkaitan dengan visual, alur dan sinematografi akan terasa berbeda mengikuti setiap zamannya. Tentu judul Karate Kid: Legend lebih dirasakan tepat jika coba untuk dikomparasi dengan The Karate Kid, keduanya hadir dari zaman yang lebih berdekatan.

Sehingga penulis cerita untuk kedua film tersebut akan memiliki pendekatan yang berbeda dengan 4 film lainnya yang dirilis pada era 80-an dan 90-an. Penulis dari Karate Kid: Legend dan The Karate Kid akan menyesuaikan karakter dan konflik yang diciptakan sesuai dengan sudut pandang atau problematika pada masa tersebut yang jelas berubah cukup drastis.

Jika melakukannya dengan sudut pandang keempat film pertamanya akan ada kesenjangan pemahaman pada sisi penikmat film anak-anak. Berbeda ketika penikmat film dengan usia dewasa yang akan lebih terasa relate. Namun, jika perbandingan dilakukan Karate Kid: Legend dan The Karate Kid bisa dikatakan lebih masuk akal.

Kembali menilik film Karate Kid: Legend, dibandingkan dengan film di tahun 2010, film yang kini disutradarai Jonathan Entwistle kehilangan sisi greget yang biasanya terasa di film-film sebelumnya. Kesan pada ceritanya pun terlihat sebagai sisi terbaliknya dari karakter Dre Parker.

Seperti dikatakan sebelumnya, secara pengemasan dibuat untuk relate dengan kondisi saat ini terutama usia anak-anak. Sehingga tidak timbul pertanyaan sang anak kepada orang tua karena adanya gap zaman dari penyajian ceritanya. Coba membandingkan dari sisi visual, keduanya menggunakan teknologi kamera saat ini yang hasilnya lebih tajam.

Hanya saja, secara visual yang condong pada koreografi dari adegan fight, cukup terlihat perbedaannya. Untuk film di 2010, eksekusi visual yang lebih cepat dan dinamis.

Sedangkan, film Karate Kid: Legend memadukan dua era yang berbeda. Ada kalanya ter-visual dengan cepat dan dinamis, namun ada kalanya seperti 4 film pertamanya yang lebih sederhana dan efektif, dengan banyak fokus pada gerakan tangan dan kaki yang jelas. Perpaduan yang kadang kalanya kurang memberikan rasa greget untuk adegan tersebut.

Tak hanya itu, dibandingkan dengan The Karate Kid 2010, ada esensi yang hilang dari filmnya kini. Sehingga tidak memberikan kesan ketertarikan yang kuat dari penikmat film. Akhirnya, kesan yang tertinggal sekedar cerita dari tulisan (skrip) yang diproduksi menjadi audio visual.

Jika bisa dikatakan secara singkatnya, Karate Kid: Legend menjadi film yang tidak memiliki nyawa. Sangat disayangkan, ketika duo legenda berada dalam 1 frame, justu filmnya agak melenceng dari ekspektasi. Begitu pun pada durasi ceritanya, menilik film yang dipersiapkan sebagai produksi besar akan dibuat dengan durasi yang panjang.

Karate Kid: Legend seakan masih terjebak dalam pola dan esensi yang sama sehingga memberikan pada cerita berdurasi singkat, hanya sekitar 94 menit. Mengingat keberadaan 2 legenda yang dipersatukan dalam satu filmnya. Penggemar dan penikmat film tentu menunggu sebuah kejutan besar lebih dari sekedar seorang master yang hadir untuk memberikan ilmu.

Sangat disayangkan, andai mencoba mendobrak tembok tersebut dan membuat sesuatu yang baru tetapi dengan tetap mempertahankan esensi yang sudah terbangun di dunia The Karate Kid, sepertinya film akan jauh lebih menarik. Mungkin saja penikmat film alih-alih membandingkan dengan film era Daniel LaRusso, justru memuji sebagai waah baru dari dunia The Karate Kid.

Disclaimer untuk penikmat film, Karate Kid: Legend bukan sebuah produksi gagal yang tidak pas untuk ditonton. Penjelasan panjang sebelumnya, melihat dari sisi penikmat filmnya dari perilisan pertama hingga terakhir di 2010 lalu. Sehingga banyak kesimpulan yang dibuat masuk akal.

Karate Kid: Legend dengan kehadiran aktot Jackie Chan saja sudah menarik untuk ditunggu. Meski sang aktor tidak banyak menunjukkan skill bela dirinya yang dipadupadankan dengan akting yang selalu mengundang kekaguman karena sering tidak masuk akal. Hal yang ditunjukkan bukan menjadi film aksi yang menegangkan justru meregangkan karena selalu mengundang tawa.

Sinopsis

The Karate Kid dan Mr. Han kembali setelah hampir 15 tahun lamanya. Sosok ahli bela diri kungfu yang 15 tahun lalu membawa seorang bocah laki-laki bernama Dre Parker menyabet gelar juara dari sebuah turnamen bela diri. Tak lama setelah Dre bersama Ibunya pindah untuk tinggal dan menetap di Tiongkok.

Kini, Mr. Han yang sudah bersahabat dengan luka di masa lalu telah memiliki perguruan bela diri. Di antara puluhan murid, Li Fong yang memiliki kedekatan dengannya, baik secara personal maupun akan kemampuan akan bela dirinya. Sayang, yang dilakukan Li Fong berbanding terbalik dengan restu Sang Ibu.

Trauma di masa lalu saat kehilangan anak sulungnya membuat Dr. Fong dengan tegas melarang anak bungsu itu mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan bela diri, walau tujuan dari Mr. Han untuk menyembuhkan trauma dari Li. Untuk memulai kehidupan yang baru sekaligus menjauhkan anaknya dari kungfu, Dr. Fong memboyong Li untuk pindah ke Amerika.

Niat hati ingin menjauhkan anaknya dari hal terkait dengan bela diri, Li justru terjebak dalam lingkaran konflik keluarga Lipani, tetangganya di New York. Terutama yang kaitannya dengan Mia Lipani yang ternyata sempat menjadi kekasih dari seorang juara bela diri di daerah mereka tinggal bernama Conor Day.

Li yang dianggap penggangu terlebih dirinya yang datang dari Asia menjadi bulan-bulanan dari Conor dan teman-temannya. Tak hanya Mia yang membawa Li kembali dekat dengan bela diri, Victor ternyata meminta langsung kepada Li untuk menjadi pelatihnya untuk pertandingan boxing.

Hal ini bukan tanpa alasan, suatu malam saat Victor ingin membuang sampah, ia didatangi sekelompok orang untuk menagih hutang yang merupakan anak buah dari O’Shea. Li yang tidak terima dengan cara kasar mereka, dengan sadar membantu Victor dengan menghajar satu per satu dari mereka. Itulah awal Victor meminta Li untuk menjadi pelatih jelang seminggu sebelum pertandingan.

Victor yang lemah di beberapa gerakan perlahan menemukan ritme melalui pelatihan bergaya kungfu. Meski sempat mendapat pertentangan dari putrinya, namun itulah passion dari sang ayah akhirnya ia pun luluh. Hingga tiba hari pertandingan, saat bos dari lawannya percaya diri akan menang justru menerima kenyataan Victor tampil dengan gaya baru dan dipastikan menang.

Di sini, petaka datang, Victor mendapat kecurangan yang membuatnya harus mendapat perawatan di rumah sakit. Sayangnya, kejadian yang menimpa Victor di atas ring membuka trauma dari Li, yang membuatnya diam mematung dan diserang kepanikan. Setelah kejadian itu, Li memutuskan untuk benar-benar menjauhi bela diri.

Ia pun terus menghindari Mia dan menjauh dari lingkungan sosial. Di momen terpuruk untuk kedua kalinya untuk Li, kejutan dari Mr. Han yang datang berkunjung ke New York. Mr. Han dengan gaya khas dari sang aktor pemerannya, Jackie Chan menemani Li untuk mengunjungi Victor di rumah sakit sekaligus meminta maaf kepada Mia.

Sekaligus memberitahukan bahwa Li akan ikut dalam turnamen yang diadakan di lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini dilakukan untuk menyembuhkan trauma mendalam dari Li setelah Mr. Han menemukan sebuah flyer yang sudah usam di dalam kamar Li. Dari situlah ide untuk mengembalikan kepercayaan diri Li dengan tetap melakukan hal yang dia sukai sekaligus traumatis.

Turnamen kali ini cukup berbeda, karena lebih kepada teknik bela diri karate. Mr. Han yang lebih condong kepada bela diri kungfu, mendatangi seseorang kenalannya di luar kota. Sosok yang dikenal sebagai legenda karate sekaligus pewaris ilmu dari sosok mendiang Mr. Kesuke Miyagi yang bernama Daniel LaRusso.

Duo legenda kungfu dan karate bersatu untuk membantu Li mempersiapkan diri untuk menghadapi Five Boroughs Tournament. Kombinasi dua bela diri menciptakan kombinasi yang epik, seperti yang digambarkan pada ikat kepala, dua cabang 1 pohon. Dimulainya turnamen, Li sempat tidak percaya diri, namun setelah dirinya menemukan ritme membawanya pada babak akhir.

Lawan yang dihadapi tidak lain Connor Day, juara bertahan dari empat seri turnamen sebelumnya. Pertandingan berjalan ketat, Connor sempat memimpin 4 poin. Li yang mencoba fokus dan melupakan trauma masa lalu, mulai menunjukkan kemampuan yang maksimalnya, hingga akhirnya di poin penentuan, Li berhasil menghilangkan keraguan dan trauma yang membantunya menumbangkan Connor.

Akhirnya semua trauma dan konflik yang berlarut-larut dari keluarga Fong dan Lipani terselesaikan dengan happy ending. Li bisa kembali menikmati mempelajari kungfu dan keluarga Lipani mendapatkan untung besar sehingga bisa membangun cabang keduanya untuk bisnis pizza miliknya.

Production company: Columbia Pictures, Sunswept Entertainment
Distributor: Sony Pictures Releasing
Cast: Jackie Chan (Mr.Han), Ralph Macchio (Daniel LaRusso), Ben Wang (Li Fong), Joshua Jackson (Victor Lipani), Sadie Stanley (Mia Lipani), Ming-Na Wen (Dr. Fong), Aramis Knight (Conor Day), Wyatt Oleff (Alan), Shaunette Renée Wilson (Ms. Morgan), Tim Rozon (O’Shea), etc
Director: Jonathan Entwistle
Screenplay: Rob Lieber
Producers: Karen Rosenfelt
Duration: 1 hours 34 minutes

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

4 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Hailey751
Hailey751
21 days ago
Betty3767
Betty3767
21 days ago
Brian3399
Brian3399
21 days ago
Layla1716
Layla1716
20 days ago
4
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x