LASAK.iD – Penikmat film yang masa anak-anak atau remaja, mungkin juga sudah memasuki masa dewasa, yang di mana momen tersebut terjadi di era 90-an, pasti mengalami masa menikmati tontonan televisi yang didominasi film atau serial asal negeri tirai bambu. Gelombang hiburan Tiongkok yang cukup memorable bahkan setelah berlalu dalam waktu yang cukup lama.
Tak hanya memori akan aktor atau aktris pemerannya saja, tetapi juga dengan berbagai judul film atau serial. Untuk kaitannya dengan serial atau film, tak hanya karena cerita yang menarik tetapi pada genre yang diusung, yaitu wuxia. Sebuah genre fiksi Tiongkok tentang petualangan seniman bela diri di masa Tiongkok kuno.
Pada masa itu, adegan yang menampilkan seni bela diri dalam serial atau filmnya mampu menjadi sesuatu yang ikonik, yang sering ditirukan terutama mereka dengan usia yang masih anak-anak. Sedangkan dari sisi cerita, beberapa serial atau film cukup menjadi favorit publik tanah air.
Sebut saja, The Legends of the Condor Heroes, cerita yang mengadaptasi novel wuxia yang menjadi bagian pertama dari trilogi condor karya penulis Tiongkok Jin Yong (Louis Cha). Sebuah cerita fiksi yang membawa penontonnya menengok kembali Tiongkok di masa perang yang terjadi pada abad ke-12, antara Kekaisaran Mongol dan Dinasti Jin.
Sejak novel-nya dirilis pertama kali pada 1957, The Legends of the Condor Heroes telah menarik perhatian hingga diadaptasi dalam berbagai media, mulai dari serial televisi, film, komik hingga video game. Untuk film atau serial televisi di mulai paling awal setelah satu tahun perilisan novel-nya.
Pada media film, perilisan terbaru dilakukan pada awal 2025 melalui judulnya Legends of the Condor Heroes: The Gallants. Film produksi Film Workshop, China Film Co., Ltd., HG Entertainment dan Lian Ray Pictures mengambil bagian cerita novel-nya pada chapter 34 sampai 40.
Bagian yang melibatkan peperangan antara Kekaisaran Mongol dan Dinasti Jin, dalam catatan sejarah terjadi pada tahun 1211 dan berakhir pada tahun 1234. Inilah yang menjadi latar cerita filmnya dengan benang merahnya terkait dengan karakter utamanya bernama Guo Jing, yang merupakan seniman bela diri.
Tiongkok untuk produksi film atau serial yang ceritanya bertemakan wuxia memang tidak main-main. Rumah produksi berani menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk mendapat kualitas film yang epik. Meski rumah produksi pun berjudi untuk itu, yang nantinya laku atau sebaliknya.
Untuk Legends of the Condor Heroes: The Gallants, perjudian itu berhasil dimenangkan. Film yang disutradarai dan ditulis oleh Tsui Hark yang juga dikenal dengan film-filmnya yang bertemakan wuxia, sebut saja One Upon a Time in China (film series), Swordsman (film sekuel) dan banyak judul lainnya.
Pengalaman yang membuat Tsui Hark sebagai kreator terus meningkatkan kualitas filmnya di berbagai sisi terutama yang terlihat secara teknikal dari film-filmnya terdahulu. Meski seorang kreator dengan perkembangan teknologi dan peralatan akan meninggalkan jejak sebagai ciri khas dalam menulis atau menyutradarai sebuah film.
Secara look mungkin akan terlihat sama saja dengan film lainnya yang serupa. Namun, menilik dari karya Tsui Hark sebelumnya, terlihat dari visual effect dan special effect filmnya, pada bagian tertentu filmnya. Misalnya, adegan fight yang menunjukkan suatu jurus bela diri, dalam film Legends of the Condor Heroes: The Gallants antara Guo Jing dengan Ouyang Feng, master bela diri berjuluk Racun Barat.
Bahkan dalam pengambilan gambar landscape secara real time atau menggunakan visual effect pun akan membawa kekhasannya tersendiri. Terlepas dengan ciri khas seorang kreator sebagai penulis atau sutradara, Legends of the Condor Heroes: The Gallants dengan jalan ceritanya membawa memori tersendiri untuk sebagian penikmat film.
Vibes film jadul (jaman dulu)
Secara look memang sajian dari film Legends of the Condor Heroes: The Gallants lebih terlihat modern dan kekinian secara teknikal sesuai dengan masa sekarang yang teknologi dan peralatan yang lebih canggih. Namun, menarik jika berbicara tentang rasa, karena secara vibes, embience dan feel dari filmnya membawa penikmat film pada era film jadul sekitar tahun 90-an hingga awal 2000-an.
Film atau serial televisi yang membawa genre wuxia dengan menampilkan karakter master atau pendekar, latar kekaisaran atau ilmu bela diri itu sendiri memang punya ciri khas tersendiri. Untuk penikmat film menikmati gelombang film dan serial wuxia asal Tiongkok memang di mulai dari sejak lama dan memiliki tempatnya tersendiri sebagai memori.
Tak heran jika melihat film dengan tema serupa yang hadir di masa sekarang akan membangkitkan memori tersebut. Ternyata tidak semua film saat ini dengan genre wuxia mampu mentrigger dengan film serupa di masa lalu. Satu di antaranya yang bisa mentrigger adalah film berjudul Legends of the Condor Heroes: The Gallants.
Tsui Hark sebagai sutradara dan penulis tidak melakukan pada keseluruhan adegan, namun beberapa di antaranya mampu menyajikan rasa tersebut. Terasa sekali pada adegan petarungan yang melibatkan karakter protagonis Guo Jing dengan antagonis Ouyang Feng (Racun Barat). Ada juga ketika Guo Jing berlatih jurus dengan beberapa master kungfu.
Hal sederhana dari adegan yang memainkan gesture tubuh, mimik, sedikit memunculkan sisi lucu selalu menjadi ciri khas untuk karakter utama protagonis. Bahkan sisi romance dari cerita selalu menunjukkan cinta setia tetapi selalu terjebak pada cinta segitiga. Karakter utama protagonis pria akan selalu terlihat innocent atau polos.
Perbedaannya yang paling terlihat berkaitan hal-hal tersebut pada intensitas adegan. Untuk banyak film di masa lalu ada sisi yang digambarkan lebih santai untuk memberikan jeda ke penikmat film, berbeda dengan Legends of the Condor Heroes: The Gallants yang bisa dikatakan cukup serius hampir di setiap bagian filmnya.
Hal lain yang juga mengingatkan dengan vibes di masa lalu, beberapa angle kamera yang mengarahkan pada barisan prajurit yang siap berperang. Tak boleh juga dilewatkan pada music scoring atau potong soundtrack di tengah-tengah adegan. Film dengan genre wixua juga yang autentik akan memiliki
Meski secara sinematografi hal yang disebut di atas terlihat lebih modern, tetapi berterima kasih dengan yang dilakukan Tsui Hark. Entah sengaja atau tidak sengaja, namun mengobati kerinduan film wuxia asal Tiongkok seperti di masa lalu.
Hal ini berkaitan juga dengan banyaknya film atau serial yang tayang di platform video (OTT) yang lebih kepada tema fantasi meski mengambil latar pada masa kekaisaran di masa lampau. Begitu juga dengan kungfu yang ditampilkan, lebih banyak hadir dari ide penulis dengan gaya yang modern.
Sinematografi yang epik
Indonesia memang memiliki basis penikmat filmnya tersendiri untuk film atau serial yang datang dari negara-negara Asia, seperti Tiongkok. Tak hanya karena deretan aktor dan aktris tetapi juga dengan cerita bahkan belakangan yang cukup mendapat perhatian pada sinematografi filmnya.
Untuk genre wuxia selalu identik dengan kekaisaran, prajurit, benteng, pedesaan hingga landscape seperti padang rumput, bukit berbatu, sungai atau danau. Hal yang juga ditampilkan dalam filmnya, ada yang dilakukan di lokasi sebenarnya, ada juga yang dibuat dengan bantuan visual effect dan special effect.
Perpaduan sesuatu yang asli dan buatan yang memanjakan mata, tidak berlebihan atau terkesan bertabrakan dalam memadukan warna dalam satu frame. Untuk banyak film, pemilihan warna atau set tertentu untuk sebuah adegan memiliki alasan tertentu. Entah adegannya yang menggambarkan kebahagiaan, mungkin juga kesedihan atau kerinduan yang mendalam.
Warna dan set dalam filmnya dengan adegan yang lebih spesifik menampilkan perpaduan itu. Bahkan sekedar Guo Jing memandang lukisan dengan puisi tertulis di salah satu sisinya. Perpaduan yang saling menyokong satu sama lainnya. Begitu pun dengan sinematografi untuk angle kamera filmnya.
Untuk film bergenre action yang juga spesifik ke genre wuxia, tentu banyak menyajikan adegan fight. Baik itu dengan tangan kosong, menggunakan senjata hingga menunggangi kuda. Sutradara Legends of the Condor Heroes: The Gallants cukup aman dalam penyajian setiap perpindahan angle dari close up ke wide angle atau pun sebaliknya.
Bahkan kamera yang seolah mengikuti gerakan dari karakter yang melakukan adegan lompat, terbang atau berputar masih cukup aman untuk mata menikmatinya. Tak membuat efek pusing atau menyakiti mata ketika melihat. Secara menyeluruh untuk sinematografi yang berhubungan dengan warna dan angle kamera cukup epik dalam penyajiannya.
Minus tetap terlihat di beberapa bagian di adegannya terutama dalam adegan penggunaan sling, walau bisa tertutupi dengan keseluruhan adegan yang memang tersaji baik dan menarik. Begitu pun dengan cerita filmnya yang cukup panjang mencapai 146 menit. Jika tidak diimbangi dengan sajian visual dan drama ceritanya yang menarik mungkin lebih dari cukup untuk membuat kantuk penikmat film.
Legends of the Condor Heroes: The Gallants cukup menepis beberapa kekurangan untuk menjadi sajian yang menarik dan nyaman untuk dinikmati.
Production company: Film Workshop, China Film Co., Ltd., HG Entertainment, Lian Ray Pictures
Distributor: Sony Pictures Releasing
Cast: Xiao Zhan (Guo Jing), Zhuang Dafei (Huang Rong), Tony Leung Ka-fai (Ouyang Feng/Venom West), Zhang Wenxin (Huajun), Baya’ertu (Genghis Khan), Alan Aruna (Tolui), Ada Choi (Li Ping), Hu Jun (Hong Qi/Beggars North), Wu Hsing-kuo (Emperor Xuanzong of Dali), Wenxin Zhang (Huazheng), etc
Director: Tsui Hark
Screenplay: Tsui Hark
Producers: Fu Ruo-qing
Duration: 2 hours 26 minutes
PrimeBiome I appreciate you sharing this blog post. Thanks Again. Cool.