LASAK.iD – Genre horor memiliki cukup banyak turunannya yang secara umum bagian dari konsep cerita filmnya. Sebut saja, psychological-horror, supernatural-horror, body-horror, comedy-horror, erotic-horror, slasher films, splatter film dan lainnya. Ada juga yang dipadupadankan dengan genre lain, seperti drama, thriller hingga action.
Belakangan film horor yang tayang di layar bioskop cukup banyak mengusung genre yang lebih condong pada genre supernatural-horror. Biasanya, secara cerita cenderung mengambil benang merah pada sebuah kultus atau sekte. Salah satunya hadir dari film produksi australia berjudul Bring Her Back.
Film ini merupakan garapan sutradara kembar asal australia, Danny dan Michael Philippou yang juga menulis ceritanya bersama Bill Hinzman. Pada sajian sepanjang filmnya, terlihat penulis membuat premis cerita bahkan hampir keseluruhan produksi pada sebuah kesederhanaan.
Menilik filmnya yang mengusung genre supernatural-horror dan tema cerita filmnya mengarah pada sebuah ritual dan persembahan. Penulis sepertinya ingin membuat penikmat film lebih fokus pada satu titik cerita. Konflik yang dibangun karakter terutama deretan main character pun tidak dengan kompleksitas yang rumit.
Baca juga: Review: Talk to Me, Saat Hantu Menguasai Jiwa Manusia
Pada ranah seputar kehilangan, trauma dan keluarga, yang dimunculkan melalui karakter protagonis, Andy dan Piper. Begitu pun dengan Laura yang merupakan antagonis cerita filmnya. Kesan sederhana sangat terasa, namun tidak bisa begitu saja mengenyampingkan sajian yang diberikan sepanjang filmnya.
Bring Her Back melalui duo sutradara kembarnya mampu menciptakan ritme yang menjadi keunggulan dari filmnya. Danny dan Michael Philippou mampu membangun ritme dari santai, menegang hingga puncaknya membuat kegaduhan di penikmat film dengan timing yang tepat dan pas.
Jika berkaca dari kesan kesederhanaan filmnya, tentu Bring Her Back tak lebih sadis dan kejam jika dibanding film seperti thriller, slasher atau splatter yang memiliki adegan intens dengan bermain pada keresahan karena kekerasan, siksaan, luka hingga darah. Lagi, momentum dalam mengatur waktu adegan yang menjadi senjata dari Danny dan Michael Philippou.
Misalnya adegan Andy dan Oliver yang berada dalam satu frame. Saat itu, Andy diminta untuk menjaga Oliver selama Laura dan adiknya Piper pergi berbelanja. Andy yang tidak tega melihat Oliver hanya dikurung saja di dalam kamar, memutuskan mengajaknya keluar dengan membuka paksa pintu menggunakan teknik yang diketahuinya.
Andy hanya ingin lebih akrab dengan adik tirinya itu dengan mengajaknya untuk makan bersama. Saat itu, Andy mencoba membuatkan sesuatu untuk bisa dimakan Oliver. Sebelumnya, Andy memberikan potongan buah menggunakan pisau, Oliver yang memang sejak awal dibuat bukan menjadi dirinya justru memasukkan buah sekaligus pisaunya ke dalam mulutnya.
Sontak adegan mengerikan itu membuat Andy terkejut, dengan segera melepaskan pisau dari mulut Oliver. Sayangnya, itu justru membuat mulut Oliver semakin terlihat terluka, sampai akhirnya berhasil dan Andy mencoba membawa Oliver ke rumah sakit untuk mendapat perawatan.
Ada juga adegan yang memperlihatkan Oliver yang semakin menyeramkan dan mencapai puncak untuknya mendapatkan makanan. Sudah diluar kendali akhirnya tangan Laura yang menjadi sasaran dari Oliver. Sontak membuat Laura merasakan lemas karena darah yang terus keluar. Bahkan setelahnya, Oliver memakan tangannya sendiri.
Begitu pun adegan Oliver yang menggerogoti meja yang terlihat menyakitkan untuk penikmat film, ditambah dengan beberapa gigi Oliver yang terlihat tanggal. Paling ekstrim ketika Oliver memakan mayat Cathy yang ternyata disimpan Laura dalam pendingin untuk membuatnya tidak membusuk.
Adegan-adegan kanibal Oliver memang tidak seberutal seperti film zombie, tetapi permainan tempo yang dilakukan sutradara kembar yang membuat adegan itu jauh lebih membuat merinding bahkan ekstrimnya rasa mual di sebagian besar penikmat film. Padahal menilik film dengan konsep dan tema serupa justru lebih sadis dan sangat brutal.
Sebenarnya, tak hanya permainan tempo, tetapi sudut kamera yang juga pas menambah sensasi mual semakin menjadi di penikmat film. Lagi dan lagi, adegan gore dari film Bring Her Back terbilang sangat minim, mungkin ada sekitar 4 adegan yang cukup intens berkaitan dengan darah.
Selain itu, para pemeran memberikan porsinya masing-masing dalam memberikan sensasi-sensasi tertentu kepada penikmat film. Untuk keseluruhan adegan berdarah memang berpusat pada karakter Oliver, tetapi yang tidak kalah menegangkan pada sajian yang diberikan karakter-karakter lainnya.
Secara menyeluruh pada rasa gregetan dan deg-degan dari porsi karakter masing-masing. Pada karakter Piper yang digambarkan memiliki kekurangan dalam hal penglihatan tanpa disadari penikmat film akan secara otomatis menghadirkan rasa iba. Akhirnya ada kesan setiap adegan yang dilakoninya cukup membuat gregetan dan deg-degan.
Untuk karakter Laura yang merupakan tokoh antagonis utama, menciptakan melalui karakteristiknya yang selalu playing victim. Menciptakan kambing hitam untuk menutupi kejahatan besar yang dilakukannya. Saking gemasnya dengan karakter Laura, mungkin sebagian penikmat film ingin sekali menjabak rambutnya.
Karakter protagonis lain merupakan kakak dari Piper bernama Andy, yang mempunyai andil dalam membangun rasa ke penikmat film. Namun, karakter Andy mungkin lebih kepada pendorong untuk membuat adegan utamanya berhasil. Ini juga yang mungkin menjadi alasan karakter Andy, salah satu yang tidak selamat.
Film Bring Her Back menjadi cerminan bahwa kesederhanaan bisa meninggal kesan tertentu di penikmat film. Juga bisa menjadi film yang berhasil, tergantung juga dengan market dari negaranya yang menayangkan filmnya. Sebuah produksi menarik dan rekomendasi untuk penikmat film yang mencari ketegangan.
Production company: A24, Causeway Films, RackaRacka Studios
Distributor: A24, Sony Pictures Releasing
Cast: Billy Barratt (Andy), Sora Wong (Piper), Jonah Wren Phillips (Oliver), Sally-Anne Upton (Wendy), Stephen Phillips (Phil), Mischa Heywood (Cathy), Sally Hawkins (Laura), etc
Director: Danny Philippou, Michael Philippou
Screenplay: Danny Philippou, Bill Hinzman
Producers: Samantha Jennings, Kristina Ceyton
Duration: 1 hours 44 minutes