LASAK.iD – Persaingan ketat untuk film bioskop jelang akhir tahun dari rumah produksi lokal semakin sengit. Para film maker satu per satu mulai merilis karya teranyarnya untuk memanjakan penikmat film tanah air. Di antara peta persaingan hadir karya-karya dari rumah produksi Hitmaker Studios.
Sebelumnya, Hitmaker Studios sukses dengan film bergenre horor slasher berjudul Sumala, yang berhasil ditonton lebih dari 1 juta pasang mata. Ingin mengulang kembali sukses yang sama bahkan lebih lagi, Hitmaker Studios bersama dengan Legacy Pictures, Masih Belajar Pictures dan Role Entertainment bersiap dengan rilisan terbaru berjudul Santet Segoro Pitu.
Rocky Soraya sebagai produser kembali mengadaptasi cerita filmnya berdasarkan thread viral dari akun X Betz Ilustration. Kali ini, untuk mengeksekusi cerita, kursi sutradara dipercayakan pada sosok Tommy Dewo, yang melakukan debutnya sebagai sutradara film panjang sekaligus film horor pertama selama karirnya sebagai orang di belakang layar.
Untuk pengembangan ceritanya, selain melibatkan langsung pemilik asli thread Santet Segoro Pitu, Betz Illustration, hadir juga penulis Riheam Junianti. Filmnya sendiri akan tayang serentak pada 7 November 2024 mendatang. Namun, sebelum itu para cast dan crew menggelar gala premiere untuk awak media, pemerhati film hingga fans. Yuk, sedikit membahas tentang film Santet Segoro Pitu.
Cerita berdasarkan thread
Penikmat film terutama yang gemar dengan film bergenre horor, Hitmaker Studio siap memanjakan dengan film terbaru berjudul Santet Segoro Pitu. Film yang ceritanya diketahui berdasarkan thread yang ditulis Betz Ilustration pada awal tahun 2024. Sebuah kisah nyata yang kemudian menjadi viral hingga menarik minat konten kreator lainnya untuk menceritakan kembali di berbagai platform.
Rocky Soraya sebagai produser mengambil peluang untuk kembali membeli hak paten cerita tersebut yang kemudian di produksi menjadi audio visual atau film layar lebar. Kepemilikan yang membuat keleluasaan Rocky Soraya dan tim penulis dalam pengembangan cerita sebagai kebutuhan sebuah hiburan.
Itulah kenapa untuk adaptasinya menjadi film layar lebar ada sedikit pergeseran pada ceritanya. Riheam Junianti sebagai penulis melakukannya pada ranah karakter. Pada cerita aslinya, urutan anak dari keluarga Sucipto, si sulung Ardi, Arif dan si bungsu Syifa. Untuk kebutuhan dan pertimbangan lainnya, posisi diubah dengan urutan si sulung Ardi, Syifa danArif sebagai anak bungsu.
Perubahan yang sebenarnya pun tidak mengubah esensi dari cerita aslinya ketika dialihwahanakan menjadi sebuah film. Pembaca masih mendapatkan keautentikan seperti imajinasi yang terbentuk sebelumnya ketika membaca thread-nya.
Hal lainnya dari cerita terutama setelah diproduksi sebagai film, secara utuh sudah terbentuk dengan runutan awal (perkenalan), konflik dan akhir (penyelesaian). Cerita yang sudah memiliki akhir ceritanya yang utuh, karena pada thread aslinya kisah keluarga Sucipto dalam sudut pandang Ardi belum selesai atau menggantung pada momen pengambilan air dari 7 titik pantai.
Ini tidak terlepas pembelian hak paten akan ceritanya yang tentu membuat Hitmaker Studio mendapatkan ceritanya secara utuh dari Santet Segoro Pitu milik Betz Illustration. Sehingga penikmat film pada 7 Novembr mendatang sudah mendapat conclucion dari ceritanya.
Imajinasi liar pada makhluk astral
Pembaca dari thread Santet Segoro Pitu milik akun Betz Illustration sebenarnya hanya disuguhkan cerita tentang musibah tidak masuk akal yang menimpa keluarga Sucipto yang diceritakan dari sudut pandang Ardi. Sepanjang cerita hanya rentetan gambaran kengerian peristiwa yang merenggut nyawa adik bungsunya Syifa dan Ibunda tercinta yang bernama Marni akibat kiriman santet segoro pitu.
Pembaca bahkan penonton versi video ilustrasi tidak menangkap penjelasan mahkluk yang menyerang maupun penjelasan makhluk peliharaan yang digunakan setiap toko di pasar sebagai panglaris. Di sini, Tommy Dewo sebagai sutradara dan penulis memiliki imajinasi liar akan hal tersebut.
Selain tetap pada koridor gambaran hantu atau setan atau jin lokal, Tommy Dewo menjelaskan terinsipirasi dari berbagai bentuk makhluk dari berbagai film yang ditontonnya terutama yang berasal dari luar Indonesia. Sehingga kita mendapat beberapa makhluknya cukup tidak biasa dari setan lokal.
Misalnya, setan wanita yang menempel pada Pak Sucipto di awal film, visualisasi yang ditampilkan cukup seringnya dilihat dalam film produksi hollywood yang bermain dengan makeup karakter dan prostetik. Tak sekedar mata putih, wajah pucat atau mulut berdarah atau cairan hitam.
Begitu pun dengan gambaran jin kiriman dari santet segoro pitu sendiri, bentuk besar bertanduk seperti monster sempat juga digambarkan dalam produksi film horor terdahulu. Namun, sekali lagi tim produksi banyak mengambil inspirasi dari gambaran yang ditampilkan film produksi luar negeri.
Terutama visualisasi yang berasal dari produksi film hollywood. Terkecuali untuk gambaran jin penunggu 7 titik sumber air di pantai. Penikmat film masih melihat kekhasan hantu atau setan atau jin yang secara looks atau kostum yang dikenakan yang sagat lokal sekali.
Ubah latar ke tahun 70-an
Berkaca dari cerita thread-nya, Santet Segoro Pitu memang tidak secara gamblang menyebutkan waktu kejadian. Namun, untuk membawa suasana terutama penggambaran akan pasar yang dimaksud penulis menggunakan latar waktunya mundur ke beberapa dekade kebelakang, tepatnya di tahun 70-an dan 80-an.
Keputusan yang tepat karena ambience yang dimaksudkan akan pasar, masa kelam akan prakter santet dan perdukunan memang cukup terasa ketika menontonnya. Hal ini berdasarkan hasil riset yang dilakukan tim produksi sebelum memulai penulisan skenario filmnya. Fakta yang ditemukan bahwa prakter santet dan perdagangan memang dimulai pada 1970.
Rasa dan ambience yang mungkin tidak akan sampai ke penonton saat ini jika menggunakan latar yang berkaitan dengan waktu dan tempat karena ada kemungkinan menjadi hal yang terlalu biasa.
Kental dengan kekhasan Hitmaker Studios
Setiap rumah produksi memiliki kekhasannya tersendiri dalam setiap produksi yang dibuat terutama film yang tergambarkan dalam berbagai sudut. Satu di antaranya yang mungkin bisa langsung dikenali hanya dengan melihat sekilas filmnya melalui trailer adalah Hitmaker Studios.
Rumah produksi satu ini meski dengan sutradara dan penulis yang berbeda di setiap produksi film, namun tampilan secara sinematografi yang berhubungan dengan warna film akan selalu menggunakan warna hangat yang lebih mengarah pada jingga atau kuning. Beberapa film lainnya lebih ke warna yang lebih gelap.
Entah itu dengan latar waktu saat ini atau mundur ke beberapa dekade sebelumnya, misalnya tahun 70-an, 80-an, 90-an atau 2000-an. Bahkan untuk berbagai genre, tinggal menyesuiakan kebutuhan dari cerita filmnya saja. Hal yang kembali terlihat dalam film Santet Segoro Pitu.
Filmnya kental dengan warna hangat selain mencoba menyesuaikan dengan latar tahun 70-an dan 80-an dari filmnya. Namun, hal itu cukup berpengaruh pada mood yang coba dibangun di penikmat filmnya. Menciptakan suasana sendu, dramatis seperti dalam film Santet Segoro Pitu.
Hal lain yang kaitannya dengan sinematografi, seperti komposisi pengambilan gambar, penempatan kamera (Camera Placement), pergerakan kamera (Camera Movement) dan angle kamera. Hampir di setiap film dari Hitmaker Studios hal mengenai keempat unsur yang berkaitan dengan hasil gambar selalu digunakan.
Tak melulu mengikuti aturan dengan gambar statis tetapi bermain liar dengan memanfaatkan teknologi kamera yang semakin canggih, misalnya penggunaan kamera drone. Di setiap filmnya, penikmat film akan melihat gambar yang seolah kameranya mengikuti objek bergerak. Kamera yang berputar dan gerakan kamera lainnya yang cukup menarik.
Bahkan dalam film Santet Segoro Pitu ada momen karakter Ardi menggunakan body cam yang membantu mendramatisir adegan ketakutannya ketika kembali mendatangi pasar.
Selain dari warna dan sinematografi, hal lainnya berkaitan dengan jump scare filmnya. Deg-degan dan perasaan merinding dalam film produksi Hitmaker yang salah satunya Santet Segoro Pitu, tidak hanya bagaimana cara kemunculan dari setannya, tetapi termasuk adegan berdarah yang menjadi bagiannya.
Yap, Hitmaker dikenal dengan menyertakan sub-genre lainnya sebagai bagian dari genre utamanya. Pada film Santet Segoro Pitu, yang merujuk pada jenis horor supranatural slasher. Tak hanya melibatkan hal tentang mistis tetapi juga pembunuhan di dalamnya meski dilakukan oleh setannya itu sendiri.
Bahkan adegan berdarah dari Hitmaker termasuk yang cukup sadis yang membuat mual di sebagian penikmat film yang menjadi sebuah keberhasilan. Untuk penikmat film yang tidak bisa melihat adegan yang cukup sadis harap mempersiapkan diri saja ketika menonton Santet Segoro Pitu.
Hal yang kurang 100 persen
Film Santet Segoro Pitu mungkin menjadi salah satu adaptasi yang cukup berhasil, ada penyesuaian namun tidak menghilangkan esensi dari cerita aslinya. Ini pun bukan yang 100 persen sempurna karena masih ada beberapa bagian yang dirasakan kurang. Sebenarnya, cukup minim sehingga tertutupi dengan adegan-adegan gore yang membuat kengerian.
Misalnya, kurang memaksimalkan karakter Syifa yang diperankan aktris muda, Sandrinna Michelle. Bukan karena akting yang jelek tetapi keberadaannya kurang dimaksimalkan, ada kesan karakternya antara ada atau tidak ada. Hal ini sebenarnya pun wajar mengingat thread-nya memang mengambil sudut pandang dari karakter Ardi.
Untuk karakter sosok Suanggi ada momen-momen kecil yang terlihat sekali mencoba se-natural mungkin beradegan. Koreografi sebagai roh jahat, misalnya bergerak bahkan sedikit adegan berlari cukup kesulitan. Melihat kostumnya, bisa dimaklumi karena terlihat cukup berat, namun sebagian besar cukup mewakili yang diinginkan penikmat film.
Filmnya yang berlatar budaya Jawa terutama Semarang menuntut para pemain untuk bisa berbahasa Jawa dengan logat Semarang. Dialog filmnya memang tidak 100 persen berbahasa Jawa, ada juga yang berbahasa Indonesia dengan tetap mempertahankan kekhasan logatnya.
Namun, beberapa adegan emosional hampir semua pemain sedikit kehilangan akan hal tersebut. Di mana, para pemeran kembali ke setelan pabrik yang terbiasa berbahasa Indonesia sehari-hari. Masih cukup bisa diterima namun penikmat film yang melihatnya akan sedikit tersenyum.
Termasuk hal teknis dalam menciptakan petir, ada bagian pantulan cahaya yang terlalu over putih padahal mengingat itu momen tengah malam biasanya warna tetap pada cahaya putih tetapi tidak dengan saturation yang tinggi dalam mengatur temperature lampu yang digunakan (sepertinya jenis lampu HMI).
Production company: Hitmaker Studios, Masih Belajar Pictures, dan Role Entertainment
Distributor: Legacy Pictures
Cast: Ari Irham (Ardi), Sandrinna Michelle (Syifa), Christian Sugiono (Sucipto), Sara Wijayanto (Marni), Khafi Al Juna (Arief), Agus Firmansyah (Rustam), Erwin Moron (Sardi), Eduwart Manalu (Wicak), Yati Surachman (Dukun Wicak), etc
Director: Tommy Dewo
Screenwriter: Betz Illustration, Riheam Junianti
Producers: Rocky Soraya
Duration: 1 hours 34 minutes
Your writing has a way of resonating with me on a deep level. I appreciate the honesty and authenticity you bring to every post. Thank you for sharing your journey with us.
I do trust all the ideas youve presented in your post They are really convincing and will definitely work Nonetheless the posts are too short for newbies May just you please lengthen them a bit from next time Thank you for the post
Somebody essentially help to make significantly articles Id state This is the first time I frequented your web page and up to now I surprised with the research you made to make this actual post incredible Fantastic job
“Well explained, made the topic much easier to understand!”
Back Magazin I really like reading through a post that can make men and women think. Also, thank you for allowing me to comment!
Your blog is a breath of fresh air in the crowded online space. I appreciate the unique perspective you bring to every topic you cover. Keep up the fantastic work!
Usually I do not read article on blogs however I would like to say that this writeup very compelled me to take a look at and do so Your writing taste has been amazed me Thanks quite nice post