LASAK.iD – Pecinta game survival horror pasti mengenal game Until Dawn yang dirilis developer game asal Inggris, Supermassive Games pada 2015 lalu. Di awal peluncurannya, Until Dawn mendapat peringkat game terlaris kedua di Inggris Raya, ketujuh di AS dan game paling populer di YouTube.
Selain pengembangan secara permainan yang terus dilakukan sampai hari ini. Kepopuleran dari game satu ini coba diaplikasikan melalui media lain, salah satunya adalah film. Seperti juga game-nya, format film kembali melibatkan beberapa perusahaan yang menjadi bagian dari Sony sebagai perusahaan induk bersama beberapa rumah produksi dalam memproduksi filmnya.
Dibanding menampilkan format animasi seperti game-nya, Screen Gems, PlayStation Productions dan beberapa rumah produksi lainnya lebih memilih untuk menampilkan keseruan dan ketegangan game dalam format film live-action. Melihat berbagai review dari para streamer game, Until Dawn memang jauh lebih cocok ketika dihadirkan dalam format live-action.
Terutama dalam menggambarkan ketegangan dan kengerian rintangan yang dihadapi setiap karakternya untuk melewati setiap level permainan. Selain itu, format live-action jauh lebih bisa memberikan sensasi nyata ke penikmat film. Teriakan, rintihan kesakitan dan beragam emosi dari karakternya sampai ke penikmat film.
Sensasi yang berhasil dihadirkan sutradara David F. Sandberg dan Blair Butler juga Gary Dauberman sebagai penulis. Terlepas dari filmnya yang merupakan adaptasi dari video game dengan nama yang sama. Hal itu pun terbukti dengan teriakan, wajah tegang hingga sebagian besar penikmat film mencoba menutup mata hampir sepanjang filmnya.
Bagaimana tidak, penulis maupun sutradara membawa sensasi seperti video game. Di mana dalam video game, pemain akan mendapati tantangan hampir setiap jengkal ia melangkah. Terlebih pemain tidak tahu tantangan atau kejutan seperti apa yang diberikan perancang game untuk memberikan keseruan dan ketegangan.
Hal sama diterapkan penulis dan sutradara untuk format film live-action dari game Until Dawn. Plot twist-nya, saat penikmat film berpikir semua karakter telah mati bahkan sejak awal film, tak lama karakter kembali hidup dengan tubuh yang utuh namun sedikit menyisakan sakitnya proses kematian yang mereka alami masing-masing.
Menariknya juga pada bagian ini, saat para karakter mengira akan mengulang kengerian yang sama, mereka justru mendapati tantangan dan misteri baru. Bahkan pada level yang lebih sulit, mengisyaratkan kejadian pertama hanya sebagai permulaan dan gambaran dari kengerian yang mereka bisa dapatkan setelahnya.
Awalnya, mereka merasakan perasaan yang muak karena mengalami kesakitan dan kematian yang berulang. Saking seringnya, mereka kemudian menjadi terbiasa, ditambah rencana untuk mendapatkan sekecil apapun petunjuk untuk terbebas dari permainan yang tidak masuk akal.
Hingga suatu momen, mereka menyadari bahwa setiap orang yang terjebak dalam Glore Valley hanya bertahan hingga 13 kali kesempatan. Tentu petunjuk yang membuat semuanya panik karena merasa baru menjalani empat malam yang mengerikan. Namun, kenyataan yang mengejutkan ketika melihat kembali buku tamu yang berada di sebuah meja.
Clover, Max, Nina, Megan dan Abel mendapati bahwa mereka sudah menulis hingga 12 kali. Artinya, mereka hanya memiliki kesempatan satu malam lagi untuk selamat dan kembali menjalani kehidupan normal. Diperkuat dengan bukti rekaman video dari telepon genggam milik Abel, yang merekam proses kematian mereka semua mulai dari malam pertama hingga ke-12.
Konsep time loop yang dituliskan oleh Blair Butler dan Gary Dauberman memang bukan sesuatu yang baru. Until Dawn bila boleh dikatakan menempatkan keduanya menjadi yang berhasil menggunakan konsep time loop. Dikombinasikan eksekusi dari adegan-adegan kematian yang berulang para karakternya.
Adegan yang secara otomatis membuat bergidik tetapi mengejutkannya adegan yang juga mendapat tepuk tangan dari penikmat film. Saking epiknya adegan-adegan tersebut serta perunutan dalam penempatan pada waktu yang pas. Penulis dan sutradara tahu persis harus meletakan adegan tersebut untuk membangun mood emosi penikmat film.
Ketiganya tahu kapan harus meletakkan adegan tubuh terbelah dua, ditusuk berkali-kali atau kepala yang dibenturkan berkali-kali ke lantai. Tahu di mana meletakkan adegan saat tubuh para karakter meledak padahal sekedar meminum air. Klimaksnya para karakter yang mencoba melarikan diri dari antagonis sebenarnya dari Glore Valley, yaitu wendigo.
Penduduk asli yang selamat dan mereka yang terjebak dalam permainan dari Glore Valley yang menjadi objek eksperimen dari dokter psikopat bernama Dr. Hill. Penempatan yang seolah memiliki irama sehingga menciptakan keseruan dibalik kengerian untuk penikmat film tidak melewatkan setiap detik filmnya.
Cerita yang disajikan sepanjang Until Dawn menjadi salah satu film yang mampu me-manupulatif penikmat film, bahkan sejak awal filmnya. Terjebak dengan pemikiran yang sudah terbentuk di awal ternyata dibuat mind blowing setelahnya hingga akhir cerita filmnya. Film dengan cover yang sama tetapi isi yang berbeda, sebuah poin lebih dari Until Dawn.
Eksekusi yang membuat penikmat film tidak mengindahkan bahwa Until Dawn merupakan karya adaptasi sebuah game survival horror. Bila menilik filmnya, Blair Butler dan Gary Dauberman tetap membawa hal-hal yang memang identik dengan game. Latar tempatnya yang menggambarkan Blackwood Mountain, tambang, kabin hingga rumah di tengah hutan yang memang menjadi pusat konflik dari filmnya.
Untuk karakter yang terjebak dalam permainan Glore Valley sedikit mengalami perubahan, namun sosok antagonis dalam game dan filmnya tetap sama, yang digambarkan melalui karakter bernama Dr. Hill, termasuk dengan sosok bernama wendigo. Untuk menyesuaikan kebutuhan hiburan dalam format film, penulis sering bahkan harus sedikit mengubah narasi dalam cerita yang ditulisnya.
Blair Butler dan Gary Dauberman cukup berhasil membuat Until Dawn menjadi adaptasi game yang cukup berhasil untuk diterima dan dinikmati.
Production company: Screen Gems, PlayStation Productions, Vertigo Entertainment, Coin Operated, Mangata
Distributor: Sony Pictures Releasing
Cast: Ella Rubin (Clover), Michael Cimino (Max), Odessa A’zion (Nina), Ji-young Yoo (Megan), Belmont Cameli (Abel), Maia Mitchell (Melanie), Peter Stormare (Hill), etc
Director: David F. Sandberg
Screenplay: Blair Butler, Gary Dauberman
Producers: Asad Qizilbash, Carter Swan, David F. Sandberg, Lotta Losten, Roy Lee, Gary Dauberman, Mia Maniscalco
Duration: 1 hours 43 minutes
Good https://is.gd/N1ikS2