LASAK.iD – Layar bioskop tanah air sejauh ini masih didominasi untuk genre tertentu, sebut saja genre horor dan drama. Ini hanya film yang berasal dari produksi tanah air. Secara jumlah, genre horor memang masih mendominasi dengan total film yang dirilis dalam beberapa tahun belakangan.
Meski begitu, pada jumlah penonton genre drama masih bisa bersaing. Tak sedikit judul dengan mampu menembus satu juta penonton. Hal seperti tema cerita yang diusung film bergenre drama sering kali menjadi daya tarik penikmat film. Selain dari akting atau kehadiran para aktor dan aktris sebagai para pemeran filmnya.
Menilik kembali beberapa waktu belakang, genre drama yang ceritanya cukup relevan dengan kehidupan nyata menjadi pilihan untuk ditonton. Ada juga di antaranya yang dibalut dengan unsur religi yang ternyata cukup mendapat tempat di penikmat film. Akhirnya, mulai bermunculan kembali film dengan konsep dan tema yang sama.
Paling baru, film berjudul Pintu-Pintu Surga produksi Dakaramira Studio yang memadukan keduanya, yaitu drama dan nuansa religi. Film dari sutradara Adis Kayl Yurahmah, pada sajian dramanya secara umum membawa problematika dalam kehidupan berumah tangga. Kaitannya akan hubungan antara suami, istri dan kehadirannya orang ketiga.
Sentuhan religi memberikan pemahaman secara mendalam tentang orang ketiga dalam sebuah rumah tangga. Pendekatan secara religi atau agama dalam filmnya dengan jelas dilakukan Ika Mardiana sebagai penulis berdasarkan Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 3 dan ayat 129.
Dua ayat dengan benang merah yang sama tentang poligami tetapi menjelaskan dua maknanya yang berbeda. Pada Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 3 memang dengan gamblang mengatakan tentang bolehnya poligami. Namun, konsekuensi menyangkut kesulitan dari melakukan praktek poligami dijelaskan Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 129.
Hal ini tergambarkan jelas dari cerita yang dibawakan ketiga karakter sentral filmnya, Arman (Arya Saloka), Latifah (Susan Sameh) dan Widya (Agla Artalidia). Jika penikmat film melihat setiap layer yang diberikan penulis dalam ceritanya, hampir seluruh layer cerita filmnya beriringan dengan nilai dan syariat Islam.
Pertama yang berkaitan dengan fitnah dan zina, digambarkan melalui adegan kebersamaan Arman dan Latifah. Dalam pandangan Islam hal tersebut dengan tegas dilarang. Kebersamaan laki-laki dan perempuan yang belum memiliki ikatan resmi pernikahan, tidak hanya menimbulkan fitnah tetapi bisa terjadi perbuatan yang mengarah pada zina atau dosa besar.
Hal lain yang juga terlihat mengenai nilai ikhlas dalam diri masing-masing karakter. Saat Widya merelakan suaminya Arman untuk meminang Latifah. Jika kembali mengaitkan dengan sisi religi dalam hal ini Islam, ikhlas merupakan prinsip dasar seseorang dalam keimanan.
Termasuk semua adegan yang melibatka Latifah bersama anaknya yang bernama Gandhi (Athar Barakbah) yang berkebutuhan khusus. Selain ada nilai keikhlasan, dalam Islam pun menjelaskan dengan detail ganjaran saat seseorang merawat dengan ikhlas seorang anak spesial.
Layer cerita yang jalan beriringan dengan nilai dan syariat Islam yang juga dibuktikan dengan beragam dalil dalam kitab suci Al-Qur’an. Sehingga tidak hanya semata-mata sebuah tempelan untuk membuat ceritanya menarik atau terkesan religius. Jika menonton filmnya dengan seksama, Adis Kayl Yurahmah sebagai sutradara mencoba merepresentasikan skrip dengan lebih halus.
Di mana, unsur religi yang kental akan Islam dibuat samar, berbeda ketika menonton film seperti Ketika Cinta Bertasbih atau Ayat-Ayat Cinta yang vibes dan rasa akan Islami-nya sangat kuat dan kental. Sehingga penonton terlalu merasa digurui tetapi bisa dengan sadar bahwa hal tersebut memang ada dalam Islam.
Secara sajian film ini menjadi cukup sederhana, terlihat dari flow yang disajikan sepanjang filmnya. Konflik yang mengena tetapi karena tidak dengan penyajian yang kompleks. Begitu pun dengan dialog antar karakternya yang cukup template, tidak ada sesuatu yang “wah” sehingga menambah kesan produksi sederhana.
Bahkan vibes dan ambience yang coba disampaikan ke penikmat film pun cukup template seperti kebanyakan film dengan konsep dan tema serupa. Sebenarnya, bukan film yang mengecewakan, namun saking sederhananya film kurang terasa istimewa. Meski ini film drama, hal kejutan pada adegan bukan juga sebuah plot twist kurang kuat dalam filmnya.
Untuk dikatakan nilai dan pesan yang ingin disampaikan filmnya, sebagian besar penonton akan mengerti tetapi secara keseluruhan pengemasan kurang istimewa. Ada beberapa hal terutama yang kaitannya dengan akting, untuk pemain utamanya, seperti Arya Saloka, Susan Sameh dan Agla Artalidia itu tidak perlu diragukan.
Namun, peran anak-anak yang kurang dimaksimalkan karena secara tema atau konflik filmnya terkait poligami belum dilakukan secara maksimal. Padahal karakter anak bisa menjadi core dari sebuah konflik meski secara karakter utama diberikan kepada orang dewasa. Begitu pun dengan akting dari Athar Barakbah yang memerankan karater Gandhi.
Secara umum masyarakat Indonesia memang masih minim pengetahuan tentang anak-anak berkebutuhan khusus. Terutama secara sikap dan perilaku sehari-hari. Namun, untuk pengaplikasiannya secara akting oleh aktor yang juga anak-anak, penikmat film tanah air pun bisa melihat dan merasakan akting seorang pemeran sampai ke penonton.
Hal yang terjadi pada karakter Gandhi, sebagian penikmat film akhirnya melihat karakter ini hanya sebagai side character. Padahal, dengan karakternya yang memiliki kebutuhan khusus jika dieksplor atau dibuat lebih matang, ada value yang berbeda yang ditangkap oleh penikmat film. Meski posisinya hanya sebagai side character dalam cerita filmnya.
Bicara tentang karakter, film drama dengan sentuhan religi, sebagian besar penikmat film masih sangat terngiang dengan karakter Fahri dalam film Ayat-Ayat Cinta. Laki-laki sederhana nan lembut yang agamais, yang menjadi idola para wanita. Setelahnya, cukup banyak penggambaran karakter yang akhirnya dikatakan serupa.
Saking melekatnya karakter Fahri di publik tanah air, tak heran karakter seperti Arman yang yang diperankan Arya Saloka maupun karakter dari film serupa dari produksi sebelum atau setelahnya akan mendapatkan penilaian yang sama. Hal ini bisa menjadi sebuah poin plus atau justru bumerang. Tergantung bagaimana sutradara mengemas dan mengarahkan sosok karakter utama pria dalam sebuah produksi film.
Pintu-Pintu Surga memiliki karakteristiknya tersendiri dengan penilaian dari penikmat filmnya yang plus-minus. Filmnya bisa diterima atau tidak tergantung dari penikmat filmnya juga. Namun, untuk nilai dan pelajaran yang ingin disampaikan, film ini bisa menjadi rekomendasi.
Production company: Dakaramira Studio
Distributor: Dakaramira Studio
Cast: Arya Saloka (Arman), Susan Sameh (Latifah), Agla Artalidia (Widya), Athar Barakbah (Gandhi), Zaidan Zahara (Arum), Unique Priscillia (Ibu Arman), Edward Akbar (Maulana), Minarni Johan (Budhe Arman), Oki Rengga (Sidik), Vonny Anggraini (Mbok Sum), Rukman Rosadi (Pak Wanto), etc
Director: Adis Kayl Yurahmah
Screenplay: Ika Mardiana
Producers: Dwi Ilalang, Nani Djohan
Duration: 1 hours 44 minutes