LASAK.iD – Ada manusia-manusia yang terlahir dari keluarga yang berpendapat tata krama di atas segalanya, dan tak sedikit pula yang menomorduakan tata krama. Bagaimana tata krama ini di pahami dan di praktikkan akan membentuk ciri khas atau karakteristik manusia tersebut. Toleransi adalah salah satu hasil tata krama – suka tidak suka – pemilik sikap ini semakin berkurang. Kalau ingin bukti, coba saja tulis sesuatu terkait SARA, lalu lihat ada berapa orang yang berkomentar memojokkan atau menghakimi. Minim toleransi akibat tak memiliki tata krama.
Tata krama adalah bahasa universal. Perilaku yang bertata krama cenderung memiliki respon sosial yang baik, meski belum tentu penurut. Perilaku bertata krama cenderung menjadi pusat perhatian, meski terkadang menjengkelkan dan terkesan berlebihan. Pemilik perilaku ini menjadi orang-orang yang dirindukan kehadirannya. Mungkin ini terjadi karena mereka memiliki semangat positif dan terkesan optimis dalam menjalani hidup.
Sejatinya, tata krama adalah budaya yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Inilah yang menjadi ciri khas Indonesia, yang pernah dikagumi mata dunia. Meski tak melahirkan kebiasaan “membungkuk” seperti di Korea atau Jepang, namun tata krama ini jualah yang dipercaya dapat menjadi keutuhan bangsa.
Hari ini, kita mungkin bangga memiliki generasi-generasi yang cerdas. Generasi zaman now yang melek teknologi, yang seharusnya dapat menerima perubahan tanpa kehilangan jati diri. Namun (selalu) kenyataan tak sesuai harapan. Tak sedikit pula mereka yang lupa diberi asupan tata krama. Lini sosial media dipenuhi umpatan, cacian dan makian. Belum lagi aksi paling benar sendiri yang sudah terlihat sejak usia dini. Coba cari di berita, ada berapa banyak murid SD yang berucap kasar pada gurunya?
Hari anak yang biasa diperingati setiap 23 Juli sudah di depan mata. Selain pawai hias dan berbaju nusantara, semoga kita tidak lupa mengajarkan tata krama pada mereka.
Selamat hari anak generasi penerus bangsa !
(Medi Agusman)
