LASAK.iD – Pada Rabu (12/11), sidang perkara Nomor 236/G/2025/PTUN yang melibatkan total 42 penghuni ruko Marinatama Mangga Dua dengan Inkopal (Induk Koperasi Angkatan Laut) selaku pengelola lahan kembali digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sidang dipimpin Majelis Hakim Juliant Prajaghupa yang dibantu Hakim Anggota Dwika Hedra Kurniawan serta Panitera Pengganti (PP) Heri diagendakan penyerahan berkas dan mendengarkan keterangan dari Pemohon yang adalah penghuni ruko terkait dengan tuntutan akan penerbitan Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
Terkait perkara kasus yang melibatkan penghuni ruko Marinatama Mangga Dua dengan Inkopal (Induk Koperasi Angkatan Laut), Majelis Hakim Juliant Prajaghupa ingin permasalahan yang dibahas benar-benar termasuk dalam aspek hukum peradilan, bukan dalam ranah perdata atau masalah lainnya. Kehadiran bukti, saksi atau ahli dapat membantu majelis meyakini fakta hukum.
Terkait pernyataan Majelis Hakim Juliant Prajaghupa, ditemui sesaat setelah persidangan Subali, S.H. selaku kuasa hukum dari Pemohon (penghuni ruko) menanggapinya dengan mengatakan sejauh ini pihaknya sudah menyiapkan saksi ahli. Subali, S.H. sudah melakukan audiensi dan bersurat kepada Dekan Fakultas Hukum UI. Seorang dosen senior yang kredibel untuk dihadirkan sebagai saksi ahli.
“Di situ ada ketentuan yang perlu dijelaskan oleh ahlinya, dalam hal ini adalah ahli konversi tanah. Jauh sebelumnya kami sudah melakukan audiensi dan bersurat kepada Dekan Fakultas Hukum UI, dan pada intinya sudah ada calon saksi ahli. Namun demikian, untuk dapat dimintakan keterangannya, perlu ada proses dan persiapan terlebih dahulu. Calon saksi ahli tersebut adalah dosen senior, bukan dosen junior. Jadi jelas kami menghadirkan saksi yang kredibel“, jelas Subali, S.H..
Subali, S.H. sebagai ahli hukum masih berpegang hukum tertinggi adalah perdamaian dan bekerja secara yuridis formal. Namun, konteksnya kini, ia dan tim mewakili kliennya yang merupakan penghuni ruko Marinatama Mangga Dua yang merasa ketidaksepahaman dengan Inkopal justru menjadi titik rugi yang dialami kliennya tersebut.
“Sepanjang yang saya alami, hukum tingkat tetinggi adalah perdamaian. Namun, yang menjadi permasalahan yang tidak kalah penting dengan aspek yuridis adalah terjadinya ketidaksepahaman antara Inkopal dan warga. Kami sebetulnya sebagai kuasa hukum tentu bekerja secara yuridis formal.. Tapi kami memahami konteks sosial warga, maka kami akan berusaha keras supaya negara ini hadir dalam konteks untuk menjembatani supaya kondusif antara warga penghuni ruko Marinatama Mangga Dua dengan Inkopal“, jelas Subali, S.H..
Persidangan masih berlanjut terkait status lahan ruko Marinatama Mangga Dua di masa depan, baik kepada penghuni ruko maupun Inkopal sebagai pengelola. Subali, S.H. tentu memiliki harapan besar untuk menghindari pihak manapun melakukan pelanggaran hukum, seperti pengosongan lahan tanpa penetapan eksekusi dari Pengadilan Negeri.
“Harapan saya sederhana, Mas. Dalam negara hukum seperti kita, jangan sampai ada pihak yang melakukan pelanggaran hukum. Misalnya, dalam hal pengosongan lahan, apa pun alasannya itu harus berdasarkan penetapan eksekusi dari Pengadilan Negeri. Karena warga yang menempati lahan tersebut memiliki sejarah panjang, sejak sebelum tanah itu berstatus sebagai HPL, masih berupa tanah negara. Lebih-lebih lagi, dalam perkara ini muncul pihak lain yang diterima sebagai penggugat intervensi, yang membawa bukti berupa eigendom. Bukti itu menunjukkan bahwa secara fakta, tanah tersebut berasal dari tanah negara“, tambahnya.
Hal ini merujuk keterangan dari para penghuni ruko yang menerima surat edaran yang dikeluarkan Inkopal terkait batas waktu pengosongan lahan ruko Marinatama Mangga Dua pada 31 Desember 2025. Itulah selama proses hukum berjalan, Subali, S.H. tetap menyurati Kementerian Pertahanan untuk menjadi mediator antara kliennya dengan pihak Inkopal.
Di sisi lain, rasa optimisme besar menyelimuti Subali, S.H. untuk gugatan yang diajukan akan dikabulkan oleh pengadilan. Hal ini merujuk pada PP No. 9 Tahun 1965 diatur lebih rinci dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965. Peraturan yang mengatur ketentuan bahwa tanah negara yang akan dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis (seperti pembangunan ruko atau infrastruktur oleh pihak ketiga) harus terlebih dahulu dikonversi menjadi Hak Pengelolaan (HPL) atas nama instansi atau badan hukum negara terkait.
“Saya yakin dan optimistis bahwa gugatan kami akan dikabulkan. Secara logika, jika objek tanah tersebut tidak digunakan langsung oleh Kementerian Pertahanan, maka sesuai PP No. 9 Tahun 1965, tanah negara itu seharusnya dikonversi menjadi HPL. Namun karena faktanya tidak digunakan sendiri oleh instansi, bahkan dijadikan area bisnis, seharusnya sesuai komitmen awal, tanah tersebut bisa diterbitkan HGB di atas HPL, agar terjadi keseimbangan pemanfaatan antara warga masyarakat dan pemerintah“, tambahnya lagi.




https://shorturl.fm/lc3zh
https://shorturl.fm/Wo2OK
Situs Pasti Scam Indonesia, BOKEP JAPAN KONTOL KAU
You’ve clearly done your research, and it shows.
I appreciate the depth and clarity of this post.
I like how you presented both sides of the argument fairly.
Your writing style makes complex ideas so easy to digest.
I appreciate the depth and clarity of this post.
I’ve bookmarked this post for future reference. Thanks again!
Your writing always inspires me to learn more.
I never thought about it that way before. Great insight!
This was a great reminder for me. Thanks for posting.
This was incredibly useful and well written.
Thanks for taking the time to break this down step-by-step.
Such a thoughtful and well-researched piece. Thank you.
I wish I had read this sooner!
Thank you for offering such practical guidance.
Appreciate the time you put into this — it’s packed with value.
https://shorturl.fm/PhGXv
https://shorturl.fm/dreJN