
LASAK.ID Bandung – Dewan Perwakilan Rakyat RI diminta segera merampungkan RUU Sumber Daya Air (SDA) yang kini tengah dibahas di Komisi V. Hal ini untuk memastikan adanya payung hukum pasca keputusan MK tahun 2015 yang mencabut UU no 7/2004.
Staf Khusus Kementerian PUPR Firdaus Ali menyatakan hal tersebut dalam diskusi panel mengenai masa depan sumber daya air tanah di Indonesia yang digelar oleh Perhimpuan Air Tanah Indonesia (PAAI) di kampus Institut Teknologi Bandung, pada 10 Januari 2019.
“Kita tidak punya kemewahan waktu, tersisa 162 Daftar Isian Masalah (DIM) yang saya pikir bisa diselesaikan dalam satu bulan,” kata Firdaus yang menjadi salah satu narasumber pada diskusi tersebut .
Menurut dia, dalam pengelolaan sumber daya air, pemerintah tidak bisa sendirian. Perlu peran swasta. China saja, sebagai negara yang kuat secara finansial, masih membutuhkan peran swasta untuk melayani kebutuhan air rakyatnya.
“Di Indonesia, ketika swasta diberi izin pengusahaan air, harus ada reward dan punishment. Ini adalah sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari,” kata dia.
Ia menerima banyak pengaduan masyarakat terkait perijinan pengelolaan sumber daya air, salah satunya adalah kiriminalisasi oleh penegak hukum kepada pihak pelaku indutsri. Salah satu kasus yang mengemuka dalam diskusi ini adalah kriminalissi perusahaan air minum di Sukabumi.
“Negara harus menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari. Dan, penguasaan negara atas sumber daya air diselenggarakan oleh pemerintah sebagai bentuk perlindungan kepada setiap warga negara,” kata Firdaus
Menurut dia, RUU SDA memiliki 68 bab, 78 pasal, dan 194 ayat. Dari pasal-pasal tersebut, pemerintah sudah menyarahkan Daftar isian Masalah (DIM) ke DPR untuk dibahas pada Juni 2018. Dari lotal 604 DIM, yang sudah disepakai sebanyak 442 DIM. Sisanya, 162 DIM belum dibahas.
“Seyogiyanya DPR bisa menyelesaikannya dalam satu bulan, tapi karena mereka sibuk kampanye terkait masa Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif , pembahasan ini menjadi tertunda,” ucap Firdaus Ali pada diskusi yang dihadiri oleh 200-an orang dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, tenaga ahli, asosiasi, dan pelaku industri ini.
Evan, salah seorang anggota Asosiasi Pengusaha Air Minum (Aspadin) Jabar mengungkapkan berlarut-larutnya masalah RUU SDA membuat usahanya tidak memiliki kepastian hukum. Menurut dia, di Jabar Banten ada 150-an perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di Jabar dan Banten. Mereka kini menunggu kepastian hukum terkait pengesahan RUU SDA.
“Sejak RUU ini dibahas dan hingga kini belum selesai, telah terjadi kriminalisasi di lapangan. Kami menghadap proses-proses hukum hingga kesulitan pengurusan perizinan. Mengurus izin saja sampa setahun,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Aspadin Rachmat Hidayat berharap RUU SDA segera disahkan dengan tetap menjunjung tinggi kedaulatan negara. UU SDA tidak boleh keluar dari 6 prinsip MK, antara lain menjunjung tinggi hak air untuk rakyat, selanjutnya, setelah hal-hal yang wajib dipenuhi, tetap harus ada izin secara ketat untuk swasta tetap berusaha.
Rachmat juga meluruskan persepsi yang salah dimasyarakat bahwa sektor Industri menguasai sumber air sehingga perusahaan bebas mengambil air dan akses air untuk masyarakat terhambat.
Faktanya, kata dia, pelaku industri mengusahakan air melalui mekanisme perizinan oleh Pemerintah yang sangat ketat, debit dibatasi, ada kewajiban-kewajiban pemegang izin dan diawasi secara ketat oleh Pemerintah. Masa berlaku izin dibatasi, ada mekanisme perpanjangan izin. Pelaku usaha wajib memberi akses air bersih kepada masyarakat
Asisten Deputi Infrastruktur SDA Kementerian Perekonomian Muhammad Zainal Fatah menambahkan, industri tidak boleh mati dengan pengaturan-pengaturan baru. Yang harus ditekankan, RUU ini tidak membentur filosofi legal.
“Jangan sampai RUU SDA ini membuat kehebohan dan kegaduhan baru, sehingga hanya ribut pada persoalan bagaimana menyelesaikan urusan internal,” kata Fatah.
Menurut dia, hingga kini pemerintah belum mampu menyediakan air minum. Sehingga perlu peran swasta dalam mengusahakan air minum, tapi industri juga harus mencegah dampak kerusakan lingkungan terkait pengusahaan air minum.
“Di RUU ini ada penegasan bagaimana kita membuat konservasi, membuat reboisasi, sendimentasi, dan upaya-upaya konservasi terhadap air tanah, dan pengendalian kerusakan air tanah,” ujar dia. (Kurnia)