LASAK.ID – Peraturan Kepada BPOM No 31 Tahun 2018 resmi dirilis oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Peraturan ini merupakan revisi dari peraturan terkait Label Pangan Olahan yang sebelumnya diatur dalam Lampiran IV Peraturan Badan POM No 27 tahun 2017 tentang Pendaftaran Pangan Olahan.
Kepala BPOM, Penny K. Lukito, menyatakan kebijakan ini diharapkan dapat menekan peredaran label produk pangan yang tidak memenuhi ketentuan (TMT). Berdasarkan hasil pengawasan rutin BPOM terhadap label produk pangan yang beredar, pada 2015 ditemukan 21,24 persen dari 8.082 label yang diawasi, tidak memenuhi ketentuan (TMK). “Diantara yang menjadi perhatian utama dalam peraturan tersebut adalah tentang label halal, informasi nilai gizi (ING), pesan kesehatan, label peringatan, 2D barcode, alergen, informasi kadaluarsa dan larangan-larangan,” ujar Penny dalam sosialisasi yang dilaksanakan Jum’at (26/10) lalu.
Tentang label halal, disebutkan bahwa keterangan halal negara asal dapat dicantumkan sepanjang telah mendapat sertifikat halal dari negara asal. Sebelumnya, aturan tentang label halal selalu menimbulkan perdebatan panjang. Dengan adanya pasal ini, diharapkan konsumen akan lebih terlindungi.
Isu lain yang sempat menjadi polemik terkait peraturan Label Pangan Olahan ini adalah peraturan tentang susu kental manis. Ditemukannya kasus stunting pada balita akibat mengkonsumsi susu kental manis di sejumlah daerah pada Januari lalu, mengakibatkan sejumlah pihak mendesak BPOM mengambil sikap tegas. Hal ini mengingat tidak adanya aturan yang mengatur promosi produk tinggi kandungan gula ini, sehingga produsen bebas memberikan klaim gizi dalam iklannya.
PLT Direktur Standardisasi Produk Pangan, Ir. Tetty Helferi Sihombing MP dalam kesempatan itu menyampaikan bahwa BPOM akan mendorong produsen menerapkan peraturan tersebut secepatnya. “Kita akan dorong mereka (produsen) menerapkan ini. Tulisan tidak cocok untuk bayi kita tegaskan lagi, sekarang kita tambahkan tidak merupakan penyumbang zat gizi. Yang kejadian di lapangan, si SKM itu dipakai seolah-olah sebagai sumber nutrisi gizi, bukan hanya pengganti asi, tapi juga disamakan dengan produk susu seperti sufor atau UHT. Ini yang kita peringatkan,” tutur Tetty.
(Sarah/ Kurnia)