Sewaktu Piknik

Profil Para Maestro Seni dan Budaya Tari Nusantara

166
×

Profil Para Maestro Seni dan Budaya Tari Nusantara

Share this article

LASAK.iD – Indonesia memiliki keragamaan seni dan budaya yang telah lahir dari berabad-abad lalu. Seiring berjalannya waktu seni dan budaya menjadikan sebuah tonggak identitas dari Nusantara. Selama perjalannya anak negeri bertanggung jawab untuk terus membuat seni dan budaya terus ada di bumi Nusantara. Bahkan bersuara dan unjuk gigi di negeri orang.

Seperti yang dilakukan Elly D. Lutan (Eksplorasi Seni Tari Tradisi), Ery Mefri (Sang Maestro Tari Minang), Ni Ketut Arini (Sang Empu Tari Bali), Retno Maruti (Maestro Tari Jawa Klasik) dan Sukarno (Cahaya Seni Budaya Nusantara).

Mereka telah mendedikasikan diri selama puluhan tahun kepada seni dan budaya yang berfokus kepada Seni Tari. Tak hanya dikenal di negeri sendiri tetapi di banyak negara sebagai maestro tari tradisional Indonesia. Penghargaan untuk dedikasi untuk waktu yang lama tak hanya datang dari negeri sendiri tetapi negeri luar.

Berikut Profil dari Para Maestro Seni dan Budaya Tari Indonesia:

Elly D. Lutan (Eksplorasi Seni Tari Tradisi)

photo by Elly Lutan (instagram)

Wanita kelahiran Makassar 27 Juli 1952 itu tak pernah bercita-cita sebagai penari. Bahkan sempat ingin menjadi tentara seperti Ayahnya. Tetapi jalan takdir mengalihkan Elly kepada dunia seni tari. Belajar menari dan mengenal wayang kulit di usia 4 tahun. Saat itu Elly tinggal bersama PakDe & Budhe nya di Jember, Jawa Timur yang gemar memotivasi Elly belajar menari. Bakat menarinya yang menonjol membuat Elly dipilih oleh Bupati Jember untuk berguru kepada maestro tari Bagong Kussudiardjo di Yogyakarta. Elly bahkan sudah diminta mengajar tari di lingkungan tempat tinggalnya sejak usia SMP. Meski ia melanjutkan sekolah di STM Bangunan dan kuliah di Sekolah Tinggi Teknik Nasional, tetapi kiprah Elly di dunia tari terus berlanjut.

Berawal dari menari Kijang Ramayana di depan Gubernur DKI Ali Sadikin, hingga perjumpaannya dengan Pak Sampurno (saat itu Direktur Pendidikan Kesenian) yang mengantarkan Elly untuk tampil di istana negara. Elly bahkan tak menyangka ketika lulus Sarjana Muda, tiba-tiba saja ia diangkat menjadi pegawai negeri di Dinas Kebudayaan dan Permusiuman, Provinsi DKI Jakarta, tanpa melalui tes seleksi.

Sejak itu Elly mulai melakukan riset terhadap budaya Betawi yang melahirkan tari Betawi. Eksplorasinya berlanjut ke pedalaman suku Dayak (1974), Sulawesi (1975) hingga menyelami budaya suku Asmat (1986). Bersama almarhum suaminya, Deddy Lutan, penari & koreografer ternama saat itu, mereka berkarya selama kurang lebih 23 tahun membawa nama sanggar tari mereka, Deddy Lutan Dance Company (DLDC). Pasangan ini pun sempat menampilkan para penari suku Asmat keliling Amerika Serikat pada tahun 1989. Misi mereka dalam berkarya adalah mengangkat seni budaya tanpa mencabut akar tradisinya.

Karya-karya Elly lahir dari kegelisahan dan apa yang dirasakan saat itu. Ia mengangkat tokohtokoh perempuan dari sudut pandang sebagai sesama perempuan. Lewat karyanya “Cut Nya’ Perempuan itu Ada” (2014), ia ingin para perempuan meneladani spirit beliau untuk dapat menempatkan diri sadarkapan dia harus di depan, di samping atau di belakang.

Setelah sang suami berpulang tahun 2014, rumahnya menjadi “klinik seni” untuk menghidupkan semangat para seniman muda untuk berkarya. ”Saya hanya ingin menjadi Ibu bagi dunia seni,” ujar Elly yang di usia 71 tahun masih aktif mengeksplorasi seni tari tradisi dan menumbuhkan kecintaan anak-anak pada seni tari Nusantara, termasuk kepada cucunya.

Ery Mefri (Sang Maestro Tari Minang)

photo by Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Bagai buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Begitulah Ery Mefri, putera semata wayang Jamin Manti Jo Sutan, seorang maestro Tari dan tokoh tradisi Minangkabau. Sejak kecil pria kelahiran Solok, 23 Juni 1958 ini sudah terbiasa mendengar suara gendang dan Ayahnya berdendang saat mengajar muridmuridnya menari. Ery pun mantap menetapkan pilihan hidupnya menjadi penari sejak di bangku kelas 2 SMP. Ia lalu melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) di Padangpanjang.

Selama 4,5 tahun, Ery seperti kesetanan berlatih menari tanpa lelah. Hal yang sama dilakukannya ketika ia bekerja sebagai pegawai negeri dan berkantor di Taman Budaya Padang sejak 1982 (hingga pensiun tahun 2014).

Barulah pada tahun 1983, Ery memutuskan untuk menjadi koreografer dan mendirikan Sanggar Tari Nan Jombang. Karya pertamanya berjudul “Nan Jombang”. Nama ini diambil dari sebutan Sang Ayah yang dalam Bahasa Minang berarti “pria yang ganteng dan berwibawa”. Berbeda dengan kebanyakan putra Minang yang merantau ke luar kota, Ery justru bertekad untuk menetap selamanya di Tanah Minang. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi hebat di kampung sendiri.

Nama Ery Mefri muncul ke panggung dunia pada tahun 2004 berkat peran Kementerian Pariwisata lewat Indonesia Performing Arts, ajang tahunan yang mempertemukan para seniman Indonesia dengan para manajer dan pengusaha hiburan dari mancanegara. Tahun 2007 Kelompok Nan Jombang pertama kali diundang tampil ke Brisbane, Australia dan dilanjutkan ke negara-negara lain. Karyanya yang paling sering ditampilkan di mancanegara adalah “Rantau Berbisik” diangkat dari kisah Ery saat merantau ke Jakarta.

Sebagai salah satu bentuk solidaritas Ery terhadap para seniman Padang , Ery menggagas festival “Galanggang Tari Sumatra” (kini menjadi KABA Festival sejak 2014) dan Festival Nan Jombang Tanggal Tiga (dilakukan tanggal 3 setiap bulannya).

“Filosofi tanggal 3 itu diambil dari pepatah Minang, ‘Tigo Tungku Sajarangan’ yang menggambarkan 3 hubungan manusia: dengan sesama manusia (ninik mamak), dengan alam (cerdik pandai) dan dengan Tuhan (alim ulama,” jelas penerima Anugerah Kebudayaan kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaharu dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Hukum dan HAM tahun 2016.

Di usianya yang 65 tahun ini ia sangat bahagia mendapat dua kado terindah dari Tuhan. Pertama, tanggal 1 November lalu Ery menggelar “Perayaan Akbar 40 tahun Ery Mefri Berkarya” di Ladang Tari Nan Jombang, Padang; sekaligus meresmikan museum tari dan peluncuran buku biografinya berjudul, “Salam Tubuh pada Bumi”.

Kedua adalah penghargaan dari Chi Awards 2023 sebagai Penerus Seni Tari Nusantara. Penghargaan ini tentu menguatkan eksistensi dan semangat Ery untuk terus berkarya dan mempersiapkan para penari muda sebagai generasi penerusnya.

Ni Ketut Arini (Sang Empu Tari Bali)

photo by Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Perempuan kelahiran Denpasar, 15 Maret 1943 ini tumbuh dan besar di lingkungan keluarga seniman. Ayahnya, I Wayan Sapluh adalah seorang penabuh gamelan. Ibunya, Ketut Samprig, gemar mekidung (melantunkan tembang Bali).

Semua saudaranya bisa menari. Suasana inilah yang membuat anak ke-4 dari 6 bersaudara ini merasa sangat dekat dengan dunia tari sejak kecil. Ia senang mengamati orang-orang yang belajar menari di pelataran rumah pamannya, I Wayan Rindi seorang penari dan guru tari terkenal di masa itu Arini baru diizinkan untuk belajar menari kepada Sang Paman ketika ia berusia 14 tahun. Bakatnya yang luar biasa pun terlihat menonjol dari anak-anak seusianya. Tak hanya menari, Arini tergerak untuk mengajar adik-adiknya ‘Kamu mau jadi guru?’ kata Paman.

“Kalau mau jadi guru harus belajar banyak lagi. Iya saya mau. Sampai akhirnya saya memutuskan menjadi guru” Arini semakin giat mengasah talentanya dan sempat menimba ilmu seni tari di Sekolah Konsevatori dan Kerawitan Indonesia Jurusan Bali (KOKAR Bali) dan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar.

Kreativitas nya mencipta tari dimulai sejak ia lulus Sarjana Muda dari Akedemi Seni Tari Indonesia tahun 1973. Beberapa karya Tari Legong nya pun berhasil mendapat penghargaan. Salah satunya adalah Tari Legong Widya Lalita Langkah Arini menjadi pengajar pun semakin mantap ketika tahun 1979 ia diundang stasiun TVRI untuk mengisi program “Bina Tari”. Bersama sanggar tarinya “Warini” ia dipercaya untuk mengasuh program tersebut selama 20 tahun. Mata dunia mulai melirik Arini dan sejak itu Arini banyak mendapat tawaran mengajar tari Bali dari mancanegara. Seperti ke Amerika Serikat (1999-2005) dan Jepang (2007-2018).

Misinya dalam melestarikan tari Bali klasik karya guru-gurunya pun terus berjalan. Di sela kesibukannya mengajar, ia meluangkan waktu untuk menulis buku . Saat ini ia sudah menulis 2 buku, yang pertama berjudul “Teknik Tari Bali” dan yang kedua “Tari Pendet Pujiastuti” tarian karya pamannya.

Tak hanya itu, Arini juga merevitalisasi salah satu Tari Bali Klasik “Baris Kekupu” (ciptaan gurunya I Nyoman Kaler dan I Wayan Rindi sekitar tahun 1930). Berkat pengabdiannya mengajar tari Bali klasik, Tari Baris Kekupu masih terus dipentaskan hingga saat ini di Pura Balai Banjar Lebah, Denpasar. Dan tahun 2023, Tari “Baris Kekupu” mendapat penghargaan dari UNESCO sebagai ‘Warisan Budaya Tak Benda’ milik Kota Denpasar.

Di usianya yang sudah 80 tahun, meskipun tubuhnya menua, semangat pengabdian ibu 4 anak ini terhadap seni tari Bali tak pernah padam. Tak heran jika ia kemudian menerima penghargaan Adi Sewaka Nugraha (2021) dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Di usia 80 tahun, semangat Arini mengajar tak pernah padam terutama melihat minat anak-anak yang ingin belajar menari di sanggarnya. Baginya mengajar adalah amanah Ayahnya dan panggilan hatinya Dengan menari dan mengajar, Arini merasa bahagia karena bisa berbagi & bermanfaat bagi orang lain.

Retno Maruti (Maestro Tari Jawa Klasik)

photo by Puro Mangkunegaran

Itulah penghayatan seorang Retno Maruti Lahir 8 Maret 1947 di Solo, Jawa Tengah, dalam lingkungan yang akrab dengan kesenian. Ayahnya Soesilo Atmadjo, merupakan seorang dalang wayang dan ibunya Siti Marsinam adalah seorang penata rias dan pembatik.

Berada di lingkungan keluarga seniman Baluwarti kompleks Keraton Surakarta, membuat anak ke-2 dari 7 bersaudara ini mengenal seni tari dan gamelan tradisi Jawa sejak usia 5 tahun. Retno kemudian mengasah kemampuannya menari dan menembang klasik Jawa dari para maestro di zaman itu, seperti Laksminto Rukmi (penari kraton), Koesoema Kesawa, Nyai Bei Mardusari, R. Ay. Sukorini, Basuki Kusworogo dan Sutarman.

Saat SMP, Retno terpilih menjadi penari kijang kencana dalam pentas Sendratari Ramayana di Candi Prambanan selama kurang lebih 9 tahun (1961-1968). “Sendratari Prambanan itulah sekolah tari saya,” ujar Retno.

Pengalamannya mengikuti sendratari Ramayana Prambanan itu sangat membantu Retno ketika ia mengelola pertunjukan dan memimpin Padnecwara (sanggar tari yang didirikannya sejak 1976 bersama Arcadius Sentot Sudiharto teman sesama penari yang juga suaminya.

Sejak tahun 1960-an Retno mulai menari di luar negeri, antara lain di World Fair New York 1964 selama 8 bulan dan terpilih sebagai salah satu penari misi kepresidenan ke Jepang. Ketika kembali ke Indonesia, Retno pun mulai membuat karya tari pertamanya, Langendriyan Damarwulan pada 1969, sampai yang terakhir Kidung Dandaka pada 2016.

Tak hanya mampu menampilkan seni tradisi Jawa klasik dengan suatu kedalaman rasa yang kreatif, Retno juga berhasil melahirkan banyak seniman dan penari klasik muda berbakat. Berbagai penghargaan telah ia terima. Salah satunya penghargaan dari Akademi Jakarta tahun 2005 untuk pencapaian dan pengabdian di bidang kesenian/humaniora. Berkesenian tari Jawa ini mampu menembus batas-batas perbedaan: baik suku, agama, kedudukan, dan status ekonomi. Di masa sekarang, banyak orang belajar menari untuk mendapat keseimbangan jiwa.

“Bagi saya, menari seperti berdoa, mengagungkan Tuhan,”ujar nenek 1 cucu yang masih tampak anggun dan canrik. Di usia 76 tahun, Retno masih tetap berkarya sekalipun kini gerak kakinya sudah sangat terbatas dan lebih banyak berada di belakang panggung. Seperti awal Oktober lalu Retno baru saja mementaskan kembali sendratari Roro Mendut (karya yang dibuat tahun 1977) di NAFA Lee Foundation Theatre, Singapore. Retno bahagia karena saat itu semua keluarganya, termasuk Kanya sang cucu, juga ikut terlibat. Retno berharap, “Semoga makin banyak yang meneruskan tari Jawa Tradisi ini. Dimulai dari Rury, anak saya dan Kanya, cucu saya.”

Karena menari, bukan hanya menghafal gerak dan teori. Tetapi juga belajar mengendalikan diri, bergotong royong, saling menghargai, toleransi sekaligus nilai-nilai budi pekerti yang tidak diperoleh di bangku sekolah.

Sukarno (Cahaya Seni Budaya Nusantara)

Itulah kalimat pembuka otobiografinya, “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”. SUKARNO mengakui bahwa cara termudah untuk menggambarkan dirinya adalah dengan menyebut dirinya ‘Maha Pencinta’; pencinta segala bentuk keindahan dan seni.

SUKARNO adalah sosok pemimpin negeri ini yang tangguh dan visioner serta memiliki passion dan cita rasa seni yang tinggi. Terlihat dari ribuan koleksi lukisannya yang kini sebagian dipajang di istana negara.

Putra dari pasangan Ida Ayu Nyoman Rai dan Raden Soekemi Sosrodihardjo ini sudah menunjukkan minatnya di bidang seni sejak di bangku SMP dengan menjadi pemain teater. Bahkan di masa pembuangannya di Ende, Sukarno banyak menulis naskah cerita, menjadi sutradara dan mengelola pementasan teater.

Sebagai pemimpin bangsa dan seorang arsitek, Sukarno terlibat dalam merancang dan menata ibukota Jakarta dengan sentuhan seni arsitektur yang tinggi. Mulai dari Gelora Senayan, Gedung MPR/DPR, Monas, dan Masjid Istiqlal yang merupakan masjid terbesar se-Asia Tenggara dan terbesar ke-9 di dunia.

Sukarno pula yang memprakarsai karya seni patung dipajang di ruang publik dan menjadi ikon Jakarta hingga saat ini. Sebut saja Patung Selamat Datang, Patung Pancoran, Tugu Tani, dan Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng.

Sebagai pemimpin Sukarno termasuk pemimpin yang paling aktif memajukan kesenian tradisional. Khusus untuk seni tari, ia mengembangkan ragam tari tradisi Nusantara dari sisi estetika seni petunjukan yang menarik untuk disuguhkan sebagai jamuan kenegaraan. Seperti beliau menjadikan Tari Pendet sebagai tari pembuka dalam acara resmi menyambut tamu negara.

Putra sulung Sukarno, Guntur Sukarno Putra, dalam bukunya “Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku” menuliskan Sukarno juga senang menari Lenso dalam acara-acara khusus. Sukarno tak segan mendobrak pakem untuk mengangkat seni tari tradisi yang lebih merakyat.

Misalnya mengusulkan Tari Kecak Bali yang semula ditarikandalam format baris menjadi lingkaran. Guruh Sukarno Putra, putera bungsu Sukarno, mengungkapkan pada tahun 1958 atas prakarsa Sukarno, tari Kecak yang biasa hanya ditarikan oleh laki-laki. Namun, perkembangannya saat ini ditarikan oleh wanita di Stadion Senayan saat pembukaan Asian Games IV tahun 1962.

Berangkat dari inspirasi tersebut pada bulan Juni lalu, Guruh menampilkan kembali tarian kecak yang ditarikan oleh 3.000 penari perempuan di Gelora Bung Karno. Tarian tersebut dilaksanakan pada perayaan puncak Bulan Bung Karno dengan judul pertunjukkan “Soekarnoyana”. Begitulah sosok Sukarno yang memaknai karya seni tidak hanya sebagai objek, namun sebagai representasi budaya bangsa.

Atas dasar inilah CHI mempersembahkan penghargaan khusus CHI Awards 2023 “Amerta Askara Budaya” (Cahaya Budaya Abadi) kepada (Alm.) DR. (HC) Ir. H. Sukarno untuk mengenang Bapak Pendiri Bangsa yang telah membangun jati diri bangsa dan menjadi cahaya yang menerangi pertumbuhan seni budaya Nusantara.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x