SEWAKTU PIKNIK – Berkunjung ke Kendari beberapa waktu lalu, Wayan Sukanta, seorang sahabat berbaik hati menjadi tour guide. Meski berdarah Bali, namun Wayan – yang akrab kami sapa Bli, panggilan untuk kakak dalam bahasa Bali sangat mengenal Kendari dan kota-kota lainnya di Sulawesi Tenggara. Wajar saja, sebab ia juga seorang wartawan yang kerap menelusuri setiap pelosok. Pun sejak kecil, ia sudah tinggal di Kendari.

“Kendari ini kota kecil, nggak ada apa-apanya,” ujarnya saat ia menjemput dari Bandara. “Kecuali kalau kita ke Wakatobi, cantik banget memang di sana,” ujarnya melanjutkan. Siapa yang tak kenal Wakatobi, salah satu surga bawah laut paling indah di dunia.
Namun, menjejak taman nasional dengan ratusan terumbu karang, ikan dan biota laut serta menanti kedatangan paus sperma yang fenomenal itu, tentulah tah cukup hanya dengan tiga hari dua malam. “Semoga lain kali berkesempatan ke Wakatobi,” ujar kami.
Meski terbilang kota kecil, tapi kami percaya setiap tempat istimewa. Jadi kalau ada yang bilang tidak ada apa-apa di Kendari, kami jelas tak percaya. Minimal kuliner khas daerah setempat layak untuk dinikmati.
Keluar dari kawasan Bandara, sudah nyaris tengah hari. Sudah jam nya makan siang. “Nggak ada yang alergi seafood kan?” Tanya Wayan. Ooo..tentu saja tidak, kami menjawab serempak.
Meski Kendari adalah ibukota propinsi, tapi jalanan tak pernah padat. Panas terik adalah hal yang biasa di sini. Tapi menyaksikan banyak tanaman hijau di tengah kota adalah pemandangan langka, yang tidak akan kita temui di kota besar lainnya.
Tak sampai 15 menit, mobil berbelok memasuki kawasan hutan hutan bakau. Kiri kanan jalanan adalah rawa yang ditanami pohon bakau. Jauh di ujung, terlihat lahan luas berpasir putih, diselingi pohon kelapa. Sejumlah kendaraan terlihat parkir di sana. Satu papan nama bertulisan Kampung Bakau menjadi penanda.
Kampung Bakau terletak di jl. Brigjen Sugiarti, pinggiran teluk Kota Kendari. Menempati lahan seluas 1 Ha, dari total 14 Ha kawasan mangrove, Kampung Bakau menjadi wisata kuliner dengan sajian hidangan laut yang segar serta wisata tracking mangrove yang semakin digemari masyarakat. Bila pasang surut, pengunjung kan disuguhi pemandangan berbagai biota laut seperti kepiting dan ikan-ikan kecil yang berenang di antara akar-akar mangrove.
Dari sini, pengunjung juga dapat menikmati indahnya Masjid Al Alam yang menjadi ikon kota Kendari. Mesjid yang pembangunannya baru digagas pada 2010 yang lalu ini juga dikenal dengan sebutan masjid Apung karena lokasinya berada di tengah laut. Empat buah menara masjid ini dirancang oleh arsitek asal Sulawesi Selatan Mursyid Mustafa dan dibuat menyerupai Burj al Arab di Dubai.

Jika Jakarta memiliki Monas sebagai titik tertinggi unutk menikmati landmark ibukota, maka Kendari memiliki Tugu Persatuan sebagai tempat untuk menikmati keindahan kota dari atas. Tugu Persatuan atau dikenal juga dengan istilah tugu religi adalah menara eks Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) yang yang dibangun tahun 2004, saat Kendari menjadi tuan rumah MTQ tingkat nasional.
Sejatinya, menara yang didesain arsitek Danny Pomanto ini sarat makna simbolik. Tingginya 95 meter melambangkan jumlah angka dari ulang tahun Sulawesi Tenggara (27+4+64=95). Di ujung menara dipasang antena anti petir setinggi 4 meter, sehingga tingginya menjadi 99 meter. Angka yang melambangkan Asmaul Husna.
Pada bagian pondasi, terdapat 5 tiang penyangga yang melambangkan Pancasila. Di atas tiang penyangga terdapat sebuah bundaran besar seperti mutiara dan dikelilingi tiang-tiang kecil yang menghadap ke atas, seolah-olah jari tangan yang sedang berdoa. Angka lima ini melambangkan lima etnis paling banyak di Sulawesi Tenggara, yaitu suku Tolaki, Muna, Buton, Moronene dan Bugis.
Dari kejauhan, menara ini terlihat megah. Namun sayangnya, bila diperhatikan lebih dekat, kawasan ini tampak tak terawat. Tiang-tiang penyangga terlihat berkarat. Rumput tumbuh liar dan sampah bertebaran. Meski demikian, satu dua pengunjung tetap terlihat berfoto dengan latar belakang tugu religi.

Sore menjelang, maka yang menyenangkan yang dapat dilakukan adalah menikmati matahari tenggelam dari tepi laut teluk Kendari. Kawasan ini populer dengan sebutan Pirla , alias Pinggir Laut. Geliat kawula muda kota di sini mulai terlihat sesaat sebelum matahari terbenam, hingga malam sekitar pukul 21.00 WITA. Sekedar menikmati warna warni langit yang menawan saat matahari mulai tenggelam, atau menikmati kuliner seperti pisang epe dan sarabba sambil bercengkrama.
Pisang epe merupakan pisang kepok yang dipanggang kemudian diberi topping seperti coklat, susu, keju atau gula aren. Sementara Sarabba adalah minuman yang terbuat dari jahe, santan dan gula aren. Kedua jenis kuliner ini jamak ditemui di seluruh Sulawesi.
Bagi pencinta durian, Kendari termasuk sorga bagi pencinta buah lokal ini. Di sepanjang jalan, banyak ditemui tenda penjual durian. Harganya pun tak mahal. Berbekal uang seratus ribu, sudah dapat tiga buah durian berukuran sedang dengan rasa yang legit. Dan yang pasti, durian-durian yang dijual di sini adalah asli dari Kendari dan sekitarnya.
Pesona Teluk Yang Dicintai Tentara Jepang

Meski tak banyak dibicarakan, namun Kendari menyimpan kisah cinta tentara Nippon terhadap teluk Kendari. Konon, saat ratusan prajurit negeri matahari itu masuk menyerbu, mereka terpukau pada matahari yang terbit dari seberang lautan. Jejaknya terlihat pada sebuah meriam yang tersimpan di dalam bungker, di lereng bukit di kelurahan Mata, berjarak 3 kilometer dari pusat Kota Kendari.
Moncongnya mengarah ke satu titik keramat di tengah lautan, titik matahari terbit. Hal itu menunjukkan, meriam tersebut bukan hanya sebuah senjata, namun keyakinan tentara Jepang kepada Amaterasu, sang Dewi Matahari.
Dari catatan literasi menunjukkan, petualangan Jepang di Kendari dimulai wal 1942, pasca perang dunia ke II. Kala itu, mereka masuk di Kota Kendari usai serangan besar-besaran di Pangkalan pasukan sekutu di Pearl Harbor, Kepulauan Hawaii.
Berkunjung ke Kendari tak lengkap bila belum belum mencicip Sinonggi, hidangan khas masyarakat Sulawesi Tenggara. Sinonggi berbahan baku tepung sagu, tanaman yang banyak dibudidayakan masyarakat Tolaki di kabupaten Konawe.

Sinonggi termasuk makanan pokok yang menyehatkan dan baik untuk pencernaan. Sekilas tampilannya terlihat seperti lem. Namun bila sudah bertemu kuah ikan dan sayur plus cabe rawit dan perasan jeruk nipis, nikmat dimakan untuk sarapan ataupun disiang hari.
Begitu Sinonggi dan menu pendamping lainnya terhidang seperti sayur bayam, ikan dengan kuah bening terhidang, Wayan mengajarkan kami cara menikmatinya. “Ambil cabe rawit, taruh di piring dan potong-potong dengan sendok. Tambahkan garam, jeruk nipis, kuah ikan lalu cicipi rasa pedasnya apakah sudah pas. Baru kemudian tambahkan Sinonggi,” ia menjelaskan. Menambahkan Sinonggi dari mangkok ke dalam piring pun bukan dengan sendok, melainkan menggulung adonan sagu dengan menggunakan batang bambu yang dibuat seperti sumpit.
(Nila Kurnia)
Related posts
Gunung Bromo, Kenali Lebih Dalam Daya Tarik Wisata Ini
Gunung Bromo – Rutinitas tak jarang membuat kita lupa bahwa Indonesia itu indah, termasuk Bromo dengan kemegahan panoramanya. Keindahan Bromo mempunyai…
Taman Sungai Mudal, Ekowisata di Barat Kota Yogyakarta
LASAK.ID – Di tengah pandemi yang kita semua alami saat ini, sedikit ulasan menarik yang memberi kesegaran menemani waktu taat…
Pesona Kendari, dari Kuliner Hingga Situs Sejarah
SEWAKTU PIKNIK – Berkunjung ke Kendari beberapa waktu lalu, Wayan Sukanta, seorang sahabat berbaik hati menjadi tour guide. Meski berdarah Bali,…
Menjelajah Sejarah Di Pecinan Jakarta
SEWAKTU PIKNIK – Jakarta selalu menjadi tempat yang manarik untuk di jelajahi. Meski telah menjelma kota metropolitan, Jakarta tetap menyisakan sejarah…