NationalNews

Zonasi, Sekolah Favorit & Takdir

1175
×

Zonasi, Sekolah Favorit & Takdir

Share this article

LASAK.iD – Apa isu terpanas minggu ini dikalangan ibu-ibu? Harga telur yang melonjak hingga 30 ribu perkilo memang mengkhawatirkan. Tapi sepertinya, untuk saat ini netijen lebih mengkhawatirkan anak-anak yang  gagal masuk sekolah incaran, terdepak akibat sistem zonasi yang ditetapkan Kemendikbud. Alhasil, protes yang dialamatkan pada Mendikbud, pemerintah dan lagi-lagi pak Jokowi berseliweran disana sini.

Membaca lini media masa, banyak kisah sedih tentang penerimaan siswa baru kali ini. Anak-anak dengan nilai tinggi yang akhirnya gigit jari tak lolos seleksi sekolah favorit. Tak hanya gigit jari, mereka menangis, dan kesedihan ini tentunya menular ke orang tua. Bahkan saya sebagai pembaca yang tidak merasakan langsung perjuangan mereka turut bersedih.

Sebagai mantan siswa, saya, kamu dan kita semua tentunya pernah merasakan bagaimana harapan-harapan, cita-cita dan impian di tiupkan demi mendapatkan sekolah pilihan. Tentunya ada kriteria khusus tentang sekolah pilihan ini. Entah siswa-siswanya yang sering mengukir prestasi, guru-guru yang asyik cara ngajarnya, fasilitas sekolah yang lengkap, ekskul yang keren atau lulusannya yang banyak masuk ke universitas papan atas negeri ini. Bayangan yag indah-indah akan sekolah pilihan ini menjadi motivasi siswa, belajar dan bersaing mendapatkan nilai tertinggi – satu-satunya alat ukur untuk mendapatkan sekolah impian. Tak peduli lokasinya jauh, harus naik turun angkutan umum, kalau sudah mendapat label favorit tentulah semua rintangan akan disingkirkan. Asalkan bisa sekolah di sekolah favorit.

Lalu, jerih payah tersebut terhempaskan oleh kenyataan bernama zonasi. Nilai tinggi sebagai hasil belajar tersingkir oleh faktor jarak terdekat dari sekolah. Percuma punya nilai tinggi kalau lokasi rumah berjarak 10 km dari rumah. Beruntung bagi siswa yang  rumahnya hanya berjarak 500 meter dari sekolah, meskipun nilainya biasa-biasa saja. Zonasi membawa keberuntungan bagi siswa-siswa yang rumahnya berada di lokasi terdekat dengan sekolah. Maka tak salah kalau kita terjemahkan zonasi sebagai takdir.

Melalui akun instagram resminya @kemendikbud.ri menampik bahwa zonasi mengesampingkan nilai. Siswa yang bertempat tinggal lebih dekat dengan sekolah memang mendapat porsi terbanyak, yaitu 90%. Namun, siswa berprestasi baik secara akademis maupun non akademis tetap mendapat kesempatan meski hanya 5%. Dan 5% sisanya adalah jatak kursi untuk siswa pindahan. Begitulah isi Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 yang mengatur tentang zonasi ini.

Secara matematis, memang sangat sedikit peluang bagi “pejuang nilai” untuk mendapatkan sekolah favorit. Namun kabar baiknya adalah jalur prestasi tidak semata-mata diartikan untuk akademis. Namun kemampuan-kemampuan siswa diluar akademis juga dapat menjadi pertimbangan. Misalnya, berbakat dibidang musik dan seni, olahraga atau kemampuan positif lainnya. Siswa yang memiliki prestasi diluar angka-angka rapor akhirnya mendapat perhatian. Kita akui saja bahwa selama ini kita sering tak menganggap siswa-siswa yang kuat di bidang olahraga atau seni namun memiliki nilai rapor yang biasa-biasa saja. Sistem zonasi akhirnya memberi kemampuan mereka kesempatan setara dengan prestasi akademis.

Saya sendiri melihat, secara prinsip sistem zonasi ini bertujuan baik. Secara bertahap, pemerintah ingin menghapus kastanisasi sekolah. Tidak ada sekolah unggulan atau favorit, semua sekolah adalah unggulan dan favorit. Demikian pernyataan Mendikbud Muhadjir Effendy membela diri baru-baru ini.

Benar sekali. Zonasi memungkinkan terjadinya pemerataan pendidikan.  Dengan tersebarnya siswa-siswa pintar ke berbagai sekolah, tentu akan memunculkan kompetisi baru. Sekolah-sekolah yang semula hanya diisi oleh siswa rata-rata, sekarang juga diisi oleh siswa-siswa berprestasi. Semangat belajar siswa-siswa pintar ini diharapkan akan menulari teman-temannya. Bahkan, para guru pun bukan tidak mungkin tertular semangat untuk mengembangkan diri dan kemampuan. Kompetensi siswa meningkat, kemampuan guru juga semakin bagus, otomatis sekolahpun menjadi unggul. Demikian jika kita bisa meliat dari sisi positif.

Niat baik itu sayangnya tidak semulus yang direncanakan. Salah satu yang paling kentara adalah tidak seimbangnya daya tampung sekolah dengan jumlah siswa. Akibatnya, banyak di antara siswa yang tidak tertampung oleh sekolah. Padahal, rumah dan sekolah yang dituju tidak terlalu jauh. Akibatnya sistem ini dinilai merugikan siswa.

Selain keterbatasan daya tampung, masalah lainnya yang disumbang sistem zonasi adalah terjadinya migrasi atau perpindahan KK. Bagaimanapun, selalu ada celah untuk mengelabui aturan yang dibuat.  terhadap para gurupun sistem zonasi menimbulkan cacat. Sekolah yang jauh dari konsentrasi pemukiman warga akan sepi peminat. Siswa yang sedikit berbanding lurus dengan jumlah jam mengajar. Akibatnya guru tidak mendapat tunjangan sertifikasi.

Bagaimanapun, cacat selalu ditemukan dalam setiap sistem yang dijalankan. Hari ini, sistem zonasi terlihat tidak adil bagi sebagian besar siswa, terutama pemilik nilai tinggi yang gagal masuk sekolah favorit. Namun, tujuan sistem ini adalah baik untuk masa depan bangsa. Menghapus kastanisasi sekolah dan menciptakan lebih banyak sekolah unggul. Semakin banyak sekolah unggul menghasilkan lebih banyak lagi siswa-siswa unggul.

Hari ini, kita merasa mendapat perlakuan tidak adil. Namun cepat atau lambat, kondisi seperti ini akan terjadi juga. Sistem pendidikan di Indonesia mesti berubah, tidak hanya terkonsentrasi pada satu sekolah atau di pusat kota saja, namun juga harus merata. Mungkin hari ini kita harus berkorban, mengihklaskan takdir. Toh seburuk-buruknya takdir, kita sudah berjuang bukan? berjuang untuk mendapatkan nilai-nilai terbaik. Bagaimanapun, ada proses yang dilalui dan lebih berharga dibanding apapun.

Sebagaimana tulisan Hanung Bramantyo yang saya baca kemarin, yang unggul itu bukan sekolah, namun manusianya. Yang menjadikan sekolah itu unggul adalah karena siswa-siswanya yang unggul. Jadi, dimanapun kita bersekolah, yakinilah bahwa kita adalah manusia unggul. Pilihan sekolah adalah takdir, namun keunggulan kita adalah pilihan.

Selamat bersekolah, mari belajar .

(Nila Kurnia)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x