LASAK.iD – Setiap hari di seluruh belahan dunia selalu ditemukan kasus kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan yang dialami pun beragam, baik secara fisik, psikis/ secara verbal maupun secara seksual. Temuan dari berbagai pihak yang fokus terhadap permasalah kekerasan perempuan menemukan angka yang relatif meningkat setiap tahunnya.
Catatan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Perempuan
Terlihat dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2022, bahwa dalam lima tahun terakhir bentuk kekerasan yang dialami perempuan: sebanyak 36% adalah kekerasan psikis, 33% kekerasan seksual, 18% kekerasan fisik dan 13% kekerasan ekonomi.
Selama tahun 2021 saja Komnas Perempuan mencatat ada sekitar 338,496 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat hingga 50 persen dibandingkan tahun 2020 yang mencatat 299.911 kasus. Tertinggi terjadi di tahun 2019, terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan.
Sayangnya, setiap kasus yang dilaporkan masih banyak yang tersembunyi karena stigma, rasa malu dan ketakutan terhadap pelaku. Inilah peranan penting dari berbagai pihak untuk mengubah pola berpikir perempuan Indonesia untuk mulai berani bicara.
UNiTE, Gandeng Komika dan Musisi Bersuara
Ini yang diupayakan Kedutaan Besar Prancis, Institut Français Indonesia dan Badan Perserikatan Bangsa Bangsa di Indonesia, seperti UNDP, UNFPA, UN Information Centre, UN Women dan WHO, bekerja sama dengan Komnas Perempuan juga Jakarta Feminist melalui 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Puncak kegiatan dengan menggelar event bertajuk UNiTE yang bertempat di M Bloc Space, Jakarta pada Sabtu (10/12) lalu. UNiTE menjadi berbeda dalam menyuarakan dukungan bagi penghapusan kekerasan berbasis gender di Indonesia.
Di mana, UNiTE menggandeng komika dan musisi untuk bersuara lantang di depan mikrofon. Komedi dan musik memiliki kedekatan emosional yang lebih mengena dihati dan pikiran seseorang. Memiliki ruang yang lebih luas dalam menyuarakan dengan kata-kata. Entah sebuah motivasi atau justru sindiran terkait dengan kekerasan berbasis gender.
Sakdiyah Ma’ruf, Komika Perempuan Tanah Air
Komika perempuan Indonesia, Sakdiyah Ma’ruf berbicara dengan mikrofonnya mengenai isu tersebut. Ia mengatakan komedi bisa menjadi medium efektif karena bergerak pada level life experience pada lingkup pengalaman sehari-hari seseorang.
Melanjutkan, Sakdiyah Ma’ruf menyebut 3 poin penting yang membuat komedi menjadi medium efektif dalam menyuarakan. Pertama, komedi bisa menarik perhatian publik atas isu-isu yang terabaikan, salah satunya menyangkut marjinalisasi, stigmanisasi, diskriminasi, kekerasan berbasis gender hingga kekerasan struktural karena kebijakan yang tidak berpihak.
“Komedi bisa menjadi medium efektif karena bergerak pada level life experience tentang pengalaman sehari-hari. Selain itu, komedi bisa menarik perhatian publik atas isu-isu yang terabaikan, salah satunya marjinalisasi, stigmanisasi, diskriminasi, kekerasan berbasis gender, kekerasan struktural karena kebijakan yang tidak berpihak”, kata Sakdiyah Ma’ruf, salah satu komika perempuan Indonesia.
Kedua, komedi bisa menerobos sekat sosial budaya terutama yang memojokkan perempuan. Di mana dalam komedi hal yang dianggap marjinal atau kelemahan menjadi kekuatan dan potensi untuk komedi itu sendiri.
Ketiga, mengajak orang banyak tertawa dengan narasi yang dibuat walau berkaitan isu sensitif atau tabu. Namun, itulah yang menjadi kekuatan dari sebuah komedi.
“Poin yang membuat komedi menjadi medium efektif, pertama menarik perhatian, kedua menerobos sekat-sekat sosial, cultural dan struktural, yang ketiga adalah bisa menyampaikan pesan-pesan dengan cara mengajak tertawa bersama“, tambahnya.
Tantangan yang paling mendasar dengan menyatukan mindset komedian dengan isu yang menjadi narasinya. Ditambah ruang berkomedi untuk perempuan yang masih sedikit, hanya sekitar 10 persen jumlah komedian perempuan di antara dominasi komedian laki-laki.
“Itu pentingnya kita memperluas ruang berkomedi karena sudah menjadi rahasia umum komedi adalah skena yang sangat didominasi oleh laki-laki. Persentasenya di bawah 10 persen untuk komedian perempuan“, tutupnya.
Rara Sekar, Musisi Perempuan Tanah Air
Seraya dengan Sakdiyah Ma’ruf, musisi perempuan Indonesia, Rara Sekar melalui musiknya ingin menyuarakan akan problematika terkait kekerasan berbasis gender yang masih terjadi dalam lingkup dunia musik yang digelutinya.
Hal yang dirasakannya langsung sebagai musisi perempuan, saat karya musiknya hampir selalu tidak dianggap atau sedihnya seolah tidak ada. Alasan paling mendasar karena dianggap terlalu feminis untuk bisa berada di level tertentu seperti festival yang memang dominan diisi musisi laki-laki.
Bahkan masih banyaknya musisi atau pekerja perempuan yang bungkam untuk kekerasan yang dialami. Entah secara fisik, psikis/ verbal hingga seksual yang ditemukan di lingkup musik. Ini tak lain karena rasa trauma, malu karena dianggap aib atau tidak memiliki power. Pada akhirnya menempatkan kejadian tersebut sebagai hal yang seakan biasa terjadi.
“Musik karya perempuan itu bukan direndahkan tetapi dianggap tidak ada, dismissal karena musiknya terlalu feminim. Sehingga maaf tidak ada ruang di festival untuk lagu-lagu yang terlalu feminim. Menurutku itu bentuk diskriminasi yang paling tinggi. Selain kekerasan yang terjadi di ruang-ruang musik“, ungkap Rara Sekar.
Keterlibatannya dalam event UNiTE menjadi salah satu jalan untuk menyuarakan problematika tersebut melalui musiknya. Menurutnya musik seperti produk seni lainnya yang bisa menjadi efektif karena memiliki pengetahuan di dalamnya.
Musik pun bisa menyentuh ruang terdalam dalam diri manusia, yaitu ruang empati. Akhirnya membangunkan naluri manusia untuk tergerak dan bertindak. Pada akhirnya sama dengan komedi bisa menerobos batas-batas tertentu untuk perempuan bisa bersuara lantang.
“Musik, karena dia menyentuh satu ruang di dalam diri manusia yang lebih ke dalam ruang empati ketimbang berpikir celebral. Karena ruang empati itu menurut aku, kita jadi bisa menerobos batasan-batasan seperti di dunia komika. Jadi, empati itu perlu dibangun, dirawat, dipelajari dan mungkin musik yang berperan di situ“, tegas Rara.
Sekaligus menunjukkan masih ada ruang aman yang bisa dituju untuk berbagi oleh mereka (perempuan) yang mengalami kekerasan berbasis gender.
“Harapannya ruang-ruang di seni seperti musik atau di dunia komika menjadi ruang-ruang aman untuk kita mulai membicarakan persoalan-persoalan ini“, tegasnya.