LASAK.iD – Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) menyebutkan, setiap tahunnya produksi kopi dalam negeri mencapai 630.000 ton lebih. Dari jumlah tersebut sekitar 70%-nya diekspor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan menyebutkan, pada 2017 ekspor kopi nasional mencapai 464.000 ton.
Di kancah global, data Kementerian Perindustrian menyebutkan ekspor produk kopi olahan nasional terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2016, ekspornya mencapai 145.000 ton atau senilai USD428 juta, kemudian meningkat hingga 178.000 ton atau senilai USD487 juta di tahun 2017. Pada 2018, terjadi lonjakan peningkatan ekspor hingga 21,49% atau sebanyak 216.000 ton dengan peningkatan nilai 19,01% atau mencapai USD580 juta.
Ekspor tersebut didominasi oleh kopi olahan berbentuk instan sebesar 87,9% dan sisanya berbasis ekstrak dan essence. Tujuan ekspor utama industri pengolahan kopi nasional, antara lain Filipina, Malaysia, Iran, China dan Uni Emirat Arab. Sebagai negara penghasil biji kopi terbesar keempat di dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia, pengembangan industri pengolahan kopi memiliki potensi besar di dalam negeri.
“Produksi kopi kita sebesar 639.000 ton pada 2017 atau 8% dari produksi kopi dunia dengan komposisi 72,84% merupakan kopi jenis robusta dan 27,16%$ kopi jenis arabika,” ujar Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam rilis yang diterima Lasak.id pada Rabu (27/2).
Pada 2017, tercatat ada 101 perusahaan kopi olahan yang meliputi skala besar dan sedang dengan jumlah penyerapan tenaga kerja sebanyak 24 ribu orang dan total kapasitas produksi lebih dari 260.000 ton per tahun. Besarnya potensi pasar kopi global harus bisa dimanfaatkan produsen kopi seperti Indonesia.
Apalagi saat ini mengonsumsi kopi bukan lagi sekadar kebutuhan, tetapi sudah menjadi gaya hidup. Wakil Ketua Specialty Coffee Association of Indonesia (SCAI) Daroe Handojo mengatakan bahwa selain ekspor, potensi pasar kopi di dalam negeri juga tinggi.
“Untuk permintaan pasar domestik masih akan terus naik. Apalagi sekarang kopi bukan hanya konsumsi, tetapi juga menjadi gaya hidup,” ujar Daore. Sayangnya, menurut dia, permintaan kopi yang tinggi tidak disertai peningkatan produksi kopi. Diantara kendala yang dihadapi adalah pohon kopi Indonesia yang kebanyakan sudah tua sehingga perlu peremajaan. Daroe mengakui, sekitar 70% kopi Indonesia diekspor.
Namun karena permintaan di dalam negeri cukup tinggi, ekspor menjadi turun. “Selain permintaan dalam negeri meningkat, harga kopi dunia juga turun. Jadi kita kalah bersaing dari harga, tapi dari kualitas memang kita tetap bagus,” paparnya.
(Nas)