LASAK.iD – Saat ini masyarakat dunia termasuk Indonesia menikmati kemudahan dari era digitalisasi. Di mana beragam informasi bisa didapatkan dengan sangat mudahnya dalam waktu singkat. Dari mengklik ratusan bahkan mencapai ribuan situs yang tersedia di jaringan internet.
Ditambah pendemi yang terjadi beberapa waktu belakangan membuat konsumsi informasi melalui jejaring sosial meningkat secara signifikan. Sayangnya, kemudahan ini memiliki resiko tinggi untuk masyarakat terpapar informasi yang salah.
Ini berdasarkan data Kominfo hingga 2020 yang mencatat ada lebih dari 800 ribu jejaring sosial yang menyebarkan hoax dengan memanfaatkan situasi saat ini. Informasi yang tersebar cukup beragam, yang tergolong dalam Misinformasi, Disinformasi dan Malinformasi. Di mana ketiganya beresiko tinggi membuat masyarakat terpapar informasi keliru.
Lalu, apa sih yang dimaksud Misinformasi, Disinformasi dan Malinformasi tersebut? Mengutip yang dikatakan Peneliti Media, Ignatius Haryanto pada Rabu (17/11), dalam Konferensi Pers Hari Kesehatan Nasional dengan tema HOAX Isu Kesehatan Bahayakan Kesehatan Anak-Anak.
“Ada yang namanya misinformasi, yaitu informasi yang salah tapi tidak disertai dengan niatan buruk. Ada lagi malinformasi, ini adalah informasi yang disampaikan salah dengan disertai niat buruk. Dan disinformasi, yang adalah informasi tidak benar atau direkayasa ,” jelas Ignatius Haryanto.
Informasi yang tersebar dan mengandung unsur dari satu atau ketiganya, nyatanya melahirkan perdebatan di kalangan masyarakat. Dengan sebagian besarnya percaya secara utuh dan sebagian kecilnya lebih peduli dengan mencari kebenarannya lebih jauh.
Ini membuktikan secara nyata, bahwa negeri ini sangat minim dalam hal literasi. Sehingga informasi yang sebenarnya perlu lebih dicari kebenarannya, justru ditelan mentah begitu saja. Keadaan semakin tak terkendali ketika ketidaktahuan akan kebenaran informasi tersebut digandakan dengan disebar melalui media sosial.
Contoh kasus yang masih terus diperjuangkan YAICI adalah hoax berkaitan dengan Susu Kental Manis (SKM). YAICI sejak beberapa tahun belakangan menyuarakan bahwa SKM bukanlah sebuah konsumsi tunggal. Melainkan sajian pendamping sebagai toping makanan. Tentu ini terkait kandungan dalam SKM yang secara total lebih banyak gula dengan minim protein.
“SKM bukanlah susu melainkan sirup beraroma susu yang memiliki kandungan tinggi gula namun rendah protein. Ini tertuang dalam PerBPOM No 31 tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan“, tegas Arif Hidayat selaku Ketua Harian YAICI.
Suara keras yang dilantangkan YAICI tentang hoax terkait SKM, tentu melindungi hak anak-anak dalam hal kesehatan. Salah persepsi karena informasi yang salah beresiko tinggi pada kesehatan anak-anak. Konsumsi gula berlebih pada anak menyebabkan terjadinya obesitas di usia dini dan parahnya lagi dapat berujung kematian yang ditemukan pada beberapa kasus.
Lebih jauh dikatakan Arif Hidayat, sebenarnya terjadi penurunan hingga 30 persen di sejumlah daerah yang dtemukan kasus sejak YAICI dan lembaga yang bekerjasama melakukan sosialiasi. Namun presentase tersebut masih terbilang kecil, melihat masih banyak daerah di tanah air yang cukup tinggi mengkonsumsi SKM sebagai sajian utama atau diseduh khususnya pada anak-anak.