Food/ HealthLifestyle

Ini Penjelasan Ahli Tentang Hustle Culture dan Toxic Productivity

209
×

Ini Penjelasan Ahli Tentang Hustle Culture dan Toxic Productivity

Share this article
Photo by Wokandapix dari Pixabay

LASAK.iD – Campaign.com sukses menggelar acara berformat webinar dengan tema Hustle Culture and Toxic Productivity: Good or Bad?. Acara ini dihadiri oleh lebih dari 200 orang peserta di Zoom dan juga disiarkan langsung di kanal YouTube milik Campaign.com. Antusiasme audiens didukung oleh tema webinar kali ini yang sangat lekat dengan kehidupan masyarakat modern saat ini, terutama di masa pandemi.

Dr. dr. Ria Maria Theresa, Sp.KJ pembicara pada acara tersebut, memaparkan bahwa selama pandemi, hustle culture bukan cuma menghantui orang dewasa, tapi semua umur, baik pekerja yang kerja dari rumah maupun pelajar yang menuntut ilmu dari rumah. Ia juga menjelaskan, hustle culture ini adalah budaya di mana seseorang bekerja tanpa henti di mana pun dan kapan pun. Sering kali gaya hustling ini dianggap standar untuk mencapai sukses di usia muda. Sementara itu, toxic productivity adalah suatu perasaan bahwa kerja atau produktivitas kita selalu tidak cukup, tidak memuaskan, tidak memenuhi target, sehingga memaksa kita untuk terus bekerja.

Hustle culture berasal dari faktor eksternal, sementara toxic productivity muncul dari dalam diri sendiri,” ujar Dr. Ria.

Pendorong merebaknya hustle culture dan toxic productivity menurut pembicara paling didominasi oleh persaingan dunia bisnis yang semakin ketat, budaya kerja, keberadaan teknologi yang mengaburkan batasan antara dunia kerja dan pribadi, serta rendahnya kesadaran masyarakat akan kesehatan mental. Ia pun menuturkan, untuk menyikapi jebakan fenomena hustle culture dan toxic productivity, kita harus sadar betul bahwa tubuh kita butuh istirahat dan wajib punya batasan yang jelas dalam bekerja.

Misalnya, saya ke pasien saya, saya bilang pada mereka bahwa mereka bisa kirim pesan ke saya jam berapa saja, tapi saya akan membalas di jam kerja yang saya tentukan. Ada pengecualian untuk hal-hal yang sifatnya sangat mendesak tentunya,” tambah Dr. Ria.

Selain untuk menumbuhkan kesadaran publik akan pentingnya menjaga kesehatan mental selama pandemi, acara ini juga digelar sebagai penanda berakhirnya masa kampanye sosial #SeruDiRumah. Kampanye ini merupakan kolaborasi Campaign.com dengan AMSA Indonesia, WWF-Indonesia, Character Matters Indonesia, dan CIMSA. Melalui kampanye #SeruDiRumah, Rp61.700.000 donasi terkumpul untuk membantu para korban terdampak covid-19 dan tenaga kesehatan di tanah air. Hal ini berkat lebih dari 11 ribu aksi dari 2.769 orang pendukung kampanye yang disponsori oleh Danpac Pharma, Travelio, Marein, Bayu Buana Travel, dan City Vision lewat aplikasi Campaign #ForChange.

Selama hampir dua jam gelaran webinar #SeruDiRumah: Hustle Culture and Toxic Productivity: Good or Bad?, peserta yang hadir tak hanya menyimak pemaparan pembicara yang sarat informasi. Mereka juga diajak berinteraksi lewat aksi sosial bersama menggunakan aplikasi Campaign #ForChange. Aksi yang dilakukan sederhana, cukup dengan mengunggah foto atau video untuk sebuah kampanye sosial, yang nantinya dikonversi menjadi donasi oleh banyak sponsor yang terlibat. Dalam aplikasi pemenang Best App For Good 2020 dari Google Play Indonesia ini, beragam isu sosial menjadi fokus utama sehingga siapa saja bisa ambil peran untuk mendukung kampanye yang sesuai dengan misi sosial masing-masing, baik untuk perusahaan, komunitas, maupun individu. Harapannya, akan semakin banyak kampanye sosial yang mengikuti jejak sukses #SeruDiRumah dalam menggalang dukungan dan menciptakan dampak luas