LASAK.iD – Fatahillah, jika mendengar nama itu disebut apa yang terlintas di benak Anda? Pasti jawabannya Museum Fatahillah yang berada di kawasan Kota Tua Jakarta. Namun, apakah Anda tahu tentang perjalanan hidup beliau?
Mungkin masih banyak orang belum mengenal beliau secara mendalam atau cerita tentangnya terlewatkan begitu saja. Untuk itu, sebagai pengingat bersama dan juga menceritakan kembali kisah perjuangan Fatahillah dalam mengusir Portugis kepada generasi milenial, maka Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta mengadakan Pergelaran Nilai Tradisi Sejarah Fatahillah pada 8 September 2019 di kawasan Kota Tua, Jakarta.
Menurut Edy Junaedi, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DK Jakarta, pergelaran Nilai Tradisi Sejarah Fatahillah diadakan dalam rangka pelestarian seni budaya daerah serta pengembangan promosi dan informasi tentang nilai-nilai budaya bangsa. Khususnya adat-istiadat, makanan, serta tata cara upacara adat masyarakat Betawi kepada masyarakat luas.
Pergelaran Tradisi Sejarah Fatahillah ini diisi dengan pergelaran drama kolosal tradisional sebagai puncak acaranya yang bercerita tentang sejarah asal mula kedatangan Portugis ke Batavia serta perjalanan pangeran Fatahillah melawan penjajah di Batavia dan perannya dalam perebutan kemerdekaan Republik Indonesia.
Drama kolosal ini dimainkan oleh lebih dari 150 orang yang menghadirkan beberapa aktor dan tokoh spesial. Fatahillah diperankan oleh aktor Umar Lubis, Sunan Gunung Jati oleh aktor Oding Siregar, dan S. Trenggono oleh Alvian dengan sutradara A. Riyanto. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta juga turut serta bermain dalam drama kolosal ini.
Bagi Umar Lubis, memerankan tokoh pangeran Fatahillah ini memiliki tantangan tersendiri. Umar yang terbiasa dengan shooting sinetron harus berusaha memaksimalkan peran pada pentas teater. Ia mengaku baru pertama kali tampil di panggung teater dan memerlukan waktu untuk mendalami tokoh Fatahillah dengan belajar dari berbagai literasi. Namun, dibantu dengan sutradara, pimpinan produksi dan seluruh kru yang terlibat, Umar membuktikan dirinya sukses berperan menjadi Fatahillah.
“Saya senang dan bangga diberi kesempatan memerankan Fatahillah. Banyak pesan yang bisa disampaikan melalui drama kolosal ini kepada masyarakat terutama adik-adik agar mengenal Fatahillah sebagai tokoh yang memiliki andil besar untuk Indonesia.” ujar Umar.
Pangeran Fatahillah yang dikenal sebagai seorang yang taat kepada Allah SWT dan sedang belajar ilmu agama di timur tengah terketuk hatinya untuk kembali pulang ke tanah air saat ia mendengar Portugis telah mendarat di Sunda Kelapa. Tidak rela bumi yang ia cintai direnggut oleh penjajah, maka Fatahillah berjuang merebut kembali Sunda Kelapa dari Portugis. Fatahillah mengajak Kerajaan Demak untuk membantunya. Kemudian untuk memperkuat pasukan, Fatahillah meminta Kasunanan Cirebon bergabung menyatukan kekuatan. Pasukan Fatahillah pun semakin kuat dengan bergabungnya Banten. Bukan hanya itu, Pangeran Fatahillah mendapat restu dari 9 Sunan di tanah Jawa. Akhirnya Portugis berhasil digiring mundur dan Sunda Kelapa kembali pada tanggal 22 Juni 1527. Sejak itu pula nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta yang berarti kemenangan yang diperoleh melalui sebuah usaha.
Drama kolosal yang dimainkan di pelataran museum Fatahillah (Museum Sejarah Jakarta) dengan latar kemegahan gedungnya serta permainan lighting yang super keren membuat drama ini tidak membosankan. Dikemas dengan live music sebagai pengiring setiap adegan menghidupkan suasana hingga tidak terasa drama ini menghabiskan waktu lebih dari 60 menit.
Pergelaran drama kolosal ini dihadiri oleh masyarakat umum dan tamu undangan seperti kedutaan, komunitas international, dan komunitas betawi. Sebelum drama kolosal ini digelar, kegiatan ini dimulai dengan icip-icip kuliner Betawi, senam massal, pertunjukkan musik gambus, lenong Betawi, Betawi street fashion, silat massal, dan penampilan Keroncong Senja di Kota Tua.
“Perjuangan Fatahillah merupakan bagian dari sejarah bangsa dalam menggapai kemerdekaan. Pergelaran drama kolosal ini dibuat sebagai bahan pustaka literasi kesejarahan lewat pentas seni.” pungkas Edy.
(Andini)